APACE dan APDI: Wajah Baru Transportasi Ramah Pelajar di Banjarmasin
Oleh: Djoko Setijowarno
Inovasi transportasi publik tidak selalu harus dimulai dari proyek besar dan berbiaya tinggi. Kota Banjarmasin menunjukkan bahwa perubahan dapat hadir dari upaya kecil namun berdampak luas, seperti melalui program Angkutan Pelajar Ceria (APACE) dan Angkutan Pelajar Disabilitas (APDI).
Dua program ini bukan sekadar layanan antar-jemput gratis bagi siswa, tetapi simbol transformasi sosial dan awal dari pembenahan sistem transportasi kota yang lebih inklusif dan manusiawi.
Sejak diluncurkan pada 1 Oktober 2018, APACE menjadi angin segar bagi pelajar dan orang tua di Banjarmasin. Program ini tidak hanya meringankan beban biaya transportasi sekolah, tetapi juga menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak. Dengan jadwal tetap dan trayek terencana, pelajar tidak perlu lagi bergantung pada kendaraan pribadi atau ojek daring yang belum tentu aman.
Lebih jauh, kehadiran APACE membantu mengurangi kemacetan di sekitar sekolah akibat banyaknya kendaraan antar jemput.
Program ini juga berdampak positif bagi sopir angkutan kota yang sebelumnya terancam kehilangan mata pencaharian akibat menurunnya minat masyarakat menggunakan angkot. Dengan direkrut menjadi pengemudi APACE dan menerima insentif tetap setiap hari, mereka kembali memiliki penghasilan yang stabil dan martabat profesinya pun terangkat.
Ini menjadi contoh bagaimana kebijakan transportasi publik dapat sekaligus menyentuh aspek sosial dan ekonomi masyarakat.
Tidak kalah penting, Pemerintah Kota Banjarmasin juga memberikan perhatian kepada pelajar disabilitas melalui program APDI yang mulai berjalan tahun 2019. Layanan ini memastikan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama dalam mengakses pendidikan tanpa hambatan transportasi.
Kehadiran APDI mempertegas komitmen kota terhadap prinsip inklusivitas, yang sering kali diabaikan dalam perencanaan transportasi di daerah lain.
Hingga Maret 2025, terdapat 15 unit APACE yang melayani 57 sekolah dan 5 unit APDI yang melayani enam sekolah inklusi dan SLB. Capaian ini patut diapresiasi, namun tantangan berikutnya adalah menjaga keberlanjutan layanan, baik dari sisi anggaran maupun kualitas pelayanan.
Banjarmasin telah memulai langkah penting menuju transportasi publik yang berkeadilan sosial. APACE dan APDI menjadi cerminan bahwa transportasi bukan sekadar urusan mobilitas, tetapi juga tentang kepedulian, kesetaraan, dan masa depan generasi muda.
Kota lain di Indonesia seharusnya belajar dari praktik baik ini—bahwa membangun transportasi publik bisa dimulai dari hal sederhana: memastikan anak-anak pergi ke sekolah dengan ceria dan selamat.
(Djoko Setijowarno adalah Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia – MTI Pusat)

