PWNU Jateng
Rais Syuriyah PWNU Jateng KH Ubaidullah Shidaqoh membuka Ngaji Bandongan dalam rangka Hari Santri Di Stadion Pandanaran Kabupaten Semarang, Kamis (23/10).(BahteraJateng)

Hari Santri Simbol Pengakuan Negara Terhadap Perjuangan Santri dalam Mendirikan NKRI

SEMARANG[BahteraJateng] – Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tanggal 15 Oktober 2015 merupakan pengakuan nasional bahwa santri memiliki sejarah panjang dan jasa besar dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH Ubaidullah Shodaqoh, mengingatkan peringatan Hari Santri bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan momentum monumental untuk mengenang peran besar santri dan para kiai dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

“Hari Santri menjadi simbul pengakuan nasional bahwa santri memiliki sejarah panjang dan jasa besar dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata kiai Ubaid saat membuka acara Ngaji Bandongan dan Ijazah Kubro, salah satu rangkaian kegiatan puncak acara resepsi perayaan Hari Santri 2025 PWNU Jateng di Stadion Pandanaran, Wujil, Bergas, Kabupaten Semarang pada Kamis malam (23/10).

Menurutnya, pemilihan tanggal ini terkait erat dengan peristiwa bersejarah Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy’ari menjadi dasar moral bagi perjuangan rakyat Indonesia, khususnya di Surabaya, melawan pasukan Sekutu pada Oktober 1945.

Pada 21-22 Oktober 1945, lanjutnya para ulama NU dari berbagai daerah berkumpul di Surabaya dan menetapkan Resolusi Jihad Fii Sabilillah, isi resolusi menegaskan bahwa melawan penjajah adalah fardhu ain bagi setiap Muslim. Resolusi ini juga menekankan bahwa siapa pun yang berada dalam radius 94 kilometer dari posisi musuh wajib ikut berjuang.

Dia menambahkan, dengan demikian
santri dan para kiai memiliki saham yang besar atas berdirinya negara ini. Terutama pada tanggal 22 Oktober, ketika Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dengan tegas mengeluarkan fatwa jihad melawan penjajah. Tanpa fatwa Resolusi Jihad dari pendiri Nahdlatul Ulama itu, tidak akan ada peristiwa heroik 10 November di Surabaya.

“Kalau tidak ada perang 10 November, mungkin eksistensi negara yang baru berumur tiga bulan itu tidak akan diakui oleh dunia internasional,” ujar pengasuh pesantren Al Itqon, Bugen Semarang ini.

Dikatakan fatwa jihad yang dikeluarkan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari memantik semangat perjuangan para santri dan ulama untuk mempertahankan kemerdekaan. Ribuan syuhada gugur sebagai bukti bahwa proklamasi 17 Agustus 1945 bukan sekadar pernyataan kosong, melainkan disokong penuh oleh kekuatan rakyat, terutama kalangan santri.

“Ketika Indonesia sudah merdeka, ilmu-ilmu dari pesantren menjadi pedoman hidup di tengah masyarakat. Sejarah mencatat peran santri yang nyata, meski sempat terlupakan pada masa Orde Baru. Alhamdulillah, perjuangan menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri juga diperjuangkan oleh tokoh-tokoh NU, termasuk KH Abdul Ghaffar Rozin,” tambahnya.

Karena itu Kiai Ubaid mengajak seluruh warga nahdliyin untuk mensyukuri dan menjaga warisan perjuangan para kiai dan santri. Melalui hari santri warga NU diharapkan bangkit dan menghidupkan kembali semangat pesantren,, pendidikan ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah, dan meneruskan cita-cita para kiai pendiri NU.

Rais ‘Aly Idaroh Aliyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN), KH Ahmad Chalwani Nawawi disela menyampaikan ijazah kubro mengatakan bahwa para santri merupakan kelompok yang paling berani menentang penjajahan.

Seorang profesor dan peneliti asal Belanda, Martin van Bruinessen, pernah menyebut ketika mengisi acara di Universitas Gadjah Mada bahwa yang paling ditakuti Belanda adalah para santri yang juga pengamal Tarekat.

“Contohnya Raden Mas Ontowiryo atau yang dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro, seorang santri sekaligus pengamal Tarekat yang menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah, keberanian dan keteguhan spiritual santri itulah yang menjadikan mereka tulang punggung perjuangan bangsa,” katanya.

Karena itulah maka diharapkan, Hari Santri hendaknya dijadikan sebagai momentum untuk mengingat kembali bahwa kekuatan spiritual dan keilmuan pesantren adalah fondasi tegaknya negeri ini.(day)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *