|

Kapal Perintis, Urat Nadi Penggerak Ekonomi di NTT

Oleh: Ki Darmaningtyas

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai wilayah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang tersebar luas di lautan. Kondisi geografis seperti ini menjadikan transportasi laut bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan utama bagi masyarakat untuk menghubungkan aktivitas ekonomi, sosial, maupun pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Moda udara memang tersedia, namun dengan tarif yang mahal dan daya angkut terbatas, sehingga hanya dapat diakses sebagian kecil warga. Karena itu, kapal perintis yang disubsidi pemerintah menjadi tumpuan utama mobilitas dan roda ekonomi masyarakat kepulauan di NTT.


Kapal perintis tidak hanya menghubungkan satu pulau dengan pulau lain, tetapi juga menjadi jembatan kehidupan bagi masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Keberadaannya memastikan bahwa harga barang di pulau-pulau kecil tidak melambung tinggi akibat biaya distribusi, serta membuka akses warga terhadap berbagai kebutuhan pokok. Tanpa kapal perintis, sebagian besar masyarakat di wilayah 3T akan terisolasi secara ekonomi maupun sosial.

Subsidi Negara yang Menyentuh Warga Kepulauan

Menurut Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas III Kupang, Simon Bonefasius Baon, terdapat empat armada kapal perintis yang berpangkalan di Kupang. Dua di antaranya dioperasikan PT Pelni (KM Sabuk Nusantara 79 dan 90), sedangkan dua lainnya oleh operator swasta (KM Sabuk Nusantara 38 dan 55). Kapal-kapal ini melayani rute Kupang ke berbagai pulau di NTT seperti Flores, Alor, Sumba, Sawu, Rote, hingga ke Maluku Barat Daya (MBD) dan Bima, Nusa Tenggara Barat.

Jadwal pelayaran kapal perintis memang tidak setiap hari, bergantung pada round trip atau voyage masing-masing. Ada yang berputar selama 11 hari pulang-pergi, ada pula yang 12 hari, sehingga rata-rata dua kali perjalanan dalam sebulan. Meskipun demikian, keberadaannya menjadi penyelamat bagi warga di pulau-pulau kecil yang tidak terjangkau kapal komersial. Tarif kapal perintis jauh lebih murah karena disubsidi negara, menjadikannya terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah.

Kapal perintis mengangkut penumpang dan barang dari Kupang ke daerah-daerah 3T. Barang-barang yang dibawa dari Kupang biasanya berupa kebutuhan pokok seperti sembako, bahan bangunan, hingga perlengkapan rumah tangga. Saat kembali ke Kupang, kapal membawa hasil bumi seperti jagung, kemiri, kopra, hingga ikan segar dari daerah-daerah penghasil. Menurut Simon, tingkat keterisian barang saat kapal kembali dari daerah sekitar 50 persen, menunjukkan masih adanya potensi ekonomi yang belum sepenuhnya tergarap.

Namun, di balik angka itu, ada dampak sosial-ekonomi yang nyata. Para pelaku usaha kecil dan menengah memanfaatkan kapal perintis untuk berdagang ke pulau-pulau lain. Mereka menjual barang kebutuhan sehari-hari dan membawa hasil bumi kembali ke Kupang. Sirkulasi ekonomi kecil ini menjaga denyut perekonomian daerah yang tidak memiliki akses jalan darat atau udara yang memadai.

Dukungan terhadap Swasembada Pangan dan Industri Lokal

Kebijakan pemerintah pusat yang mendorong swasembada pangan juga membutuhkan dukungan transportasi laut yang kuat. Di NTT, terdapat dua kawasan sentra produksi pangan, yakni Kabupaten Belu dan Sumba Tengah. Keduanya memiliki potensi besar di sektor pertanian dan hortikultura untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal. Namun, keterbatasan armada kapal sering kali membuat pasokan pangan antar pulau tidak merata. Sebagian kebutuhan pangan NTT masih harus didatangkan dari Bima, Sulawesi, dan Jawa Timur.

Salah satu komoditas unggulan NTT adalah jagung. Hampir semua kabupaten di NTT menanam jagung, namun produksinya hanya berlangsung pada musim hujan. Selain keterbatasan produksi, masalah besar lainnya adalah pemasaran. Hingga kini, NTT baru memiliki satu pabrik pakan ternak yang berlokasi di Pulau Timor. Akibatnya, jagung dari berbagai daerah di NTT dijual dalam bentuk bahan mentah dengan harga rendah. Seandainya tersedia industri pengolahan di daerah, nilai tambah yang dihasilkan bisa lebih besar dan pendapatan petani meningkat.

Hal serupa terjadi pada rumput laut, yang banyak dihasilkan di Rote, Alor, Sabu, dan Flores. Sayangnya, sebagian besar masih dijual dalam bentuk kering tanpa proses pengolahan lanjutan. Padahal, bila ada pabrik pengolahan rumput laut di NTT, nilai jualnya bisa meningkat berkali lipat. Keberadaan kapal perintis sudah membantu distribusi hasil bumi, tetapi belum cukup untuk menopang tumbuhnya industri pengolahan. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat sinergi antara pembangunan armada perintis dengan kebijakan industri daerah.

Selain itu, NTT juga dikenal sebagai daerah penghasil kayu cendana dan gaharu yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Saat ini, pemanfaatannya banyak dilakukan oleh pelaku UMKM yang mengolah cendana menjadi cenderamata atau minyak atsiri. Produk-produk ini bahkan dijual di kapal perintis sebagai suvenir khas NTT. Ini contoh nyata bagaimana kapal perintis menjadi saluran ekonomi rakyat sekaligus media promosi produk lokal.

Kapal Ternak dan Tol Laut untuk Hewan

Sejak masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, NTT ditetapkan sebagai salah satu daerah swasembada daging nasional. Untuk mendukung distribusi ternak, pemerintah meluncurkan kapal perintis khusus hewan. Pelabuhan Kupang kini menjadi pangkalan utama kapal ternak yang melayani pengiriman sapi ke Jawa, Kalimantan, bahkan Sumatra.

Ada lima kapal ternak berpangkalan di Kupang: Cemara Nusantara 1, 2, 3, 4, dan 5. Kapal-kapal ini melayani rute Kupang–Tanjung Priok, Lampung, Samarinda, dan Banjarmasin. Program tol laut untuk ternak ini bukan hanya mendukung stabilitas harga daging di Pulau Jawa, tetapi juga membuka peluang ekonomi besar bagi peternak di NTT. Kapal ternak memungkinkan pengiriman sapi dalam jumlah besar dengan standar kesejahteraan hewan yang lebih baik dibanding angkutan konvensional.

Keberadaan kapal perintis dan kapal ternak secara langsung telah menggerakkan ekonomi di NTT. Data Kementerian Perhubungan menunjukkan, dari total subsidi angkutan umum tahun 2024 sebesar Rp4,39 triliun, sekitar Rp1,95 triliun dialokasikan untuk sektor angkutan laut. Dana itu digunakan untuk 39 trayek tol laut, 105 trayek kapal perintis, dan 6 trayek kapal ternak. Tanpa subsidi tersebut, konektivitas dan distribusi barang di wilayah kepulauan seperti NTT hampir pasti lumpuh.

Tantangan Cuaca dan Keterbatasan SDM

Meski berperan vital, pengoperasian kapal perintis di NTT menghadapi dua tantangan besar: cuaca ekstrem dan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) pelayaran. Cuaca di wilayah selatan Indonesia, terutama di sekitar Laut Sawu, Arafura, dan Maluku Barat Daya, sering kali tidak bersahabat. Gelombang tinggi menyebabkan keterlambatan bahkan pembatalan pelayaran. KSOP Kupang terus berkoordinasi dengan BMKG untuk memantau kondisi cuaca dan memastikan keselamatan pelayaran.

Kendala lain yang tak kalah penting adalah ketersediaan SDM pelayaran profesional. Hingga kini, NTT belum memiliki politeknik pelayaran berstandar nasional. Lembaga pendidikan yang ada baru setingkat SMK pelayaran, dan belum ada yang mendapat pengesahan dari Kementerian Perhubungan. Akibatnya, lulusan sekolah tersebut tidak dapat memperoleh sertifikat pelaut sebagaimana diatur dalam konvensi International Maritime Organisation (IMO) tentang Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1995. Kondisi ini membuat perusahaan pelayaran di NTT masih bergantung pada tenaga kerja dari Makassar dan Jawa.

Untuk memperkuat sektor transportasi laut, pemerintah daerah bersama Kementerian Pendidikan dan Kemenhub perlu mendorong pendirian lembaga pendidikan pelayaran berstandar nasional di NTT. Dengan begitu, SDM lokal dapat terserap dalam industri maritim dan meningkatkan kapasitas pengelolaan pelayaran perintis di daerah sendiri.

Menjaga Denyut Ekonomi dari Laut

Kapal perintis bukan hanya moda transportasi, tetapi juga simbol pemerataan pembangunan. Ia menjadi jembatan yang menghubungkan daerah terluar dengan pusat-pusat ekonomi. Di wilayah kepulauan seperti NTT, kapal perintis berfungsi sebagai pasar bergerak, penghubung antar budaya, sekaligus motor penggerak roda ekonomi rakyat.

Ke depan, penguatan armada kapal perintis perlu diiringi dengan pembangunan industri lokal, sistem logistik terpadu, dan peningkatan kapasitas SDM. Pemerintah pusat dan daerah harus melihat kapal perintis bukan sekadar proyek transportasi, melainkan investasi sosial yang membangun kemandirian daerah.

Kapal perintis membawa lebih dari sekadar penumpang dan barang; ia membawa harapan masyarakat di pulau-pulau kecil untuk hidup lebih sejahtera, terkoneksi, dan setara dalam pembangunan nasional.

(Ki Darmaningtyas adalah
Peneliti di INSTRAN/Inisiatif Strategis untuk Transportasi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *