Trem Otonom atau Autonomus Rail Transit (ART) Belum Bisa Diterapkan di Semarang
Oleh: Ir. Drs. Djoko Setijowarno MT
Trem otonom merupakan salah satu inovasi pada moda transit yang menggabungkan karakteristik kereta (LRT) dan bus (BRT). Sumber daya yang berasal dari listrik juga membuat trem otonom lebih ramah lingkungan jika dibandingkan bus diesel konvensional. Trem otonom juga dapat menjadi moda alternatif yang dapat menangani karakteristik kereta yang kurang menguntungkan, disrupsi, dan pembiayaan.

Pembangunan infrastruktur kereta yang cukup massif akan menyebabkan adanya disrupsi pada ekonomi lokal, seperti yang terjadi pada Sydney, Australia. Hal ini juga akan berdampak pada pembiayaan yang besar. Trem otonom dapat menjadi solusi yang menengahi permasalahan ini dengan adanya moda transit yang tidak memerlukan pembangunan infrastruktur yang massif (CAPEX yang minim), namun dapat memberikan added value pada daerah sekitar (Tim UGM, 2021).
Secara fisik tampilan tram otonom sangat mirip dengan bus gandeng, tapi trem otonom ini memiliki spesifikasi yang berbeda. Menurut Ditjen. Perkeretaapian (2024), Sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2012 tentang Kendaraan, ukuran panjang keseluruhan bus gandeng tidak boleh dari 18 meter. Sementara trem otonom memiliki ukuran panjang keseluruhan mencapai 30 meter.
Selain itu, trem otonom hanya dapat dioperasikan pada jalur lintasan rel virtual, berupa marka jalan dan magnet sensor serta dilengkapi dengan sensor dan radar di seluruh sudut yang memungkinkan pengoperasian tanpa masinis atau driveless. Trem otonom persis seperti LRT Jabodebek, hal ini sesuai dengan definisi trem pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
Trem adalah kereta api yang bergerak di atas jalan rel yang sebidang dengan jalan. Sementara jalan rel adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton atau konstruksi lain yang terletak di permukaan, di bawah dan di atas tanah atau bergantung beserta perangkatnya yang mengarahkan jalannya kereta api.
Dalam hal ini jalur lintasan berupa virtual berfungsi yang berfungsi sebagai jalan rel yang mengarahkan jalannya trem otonom. Trem otonom juga memiliki sistem persinyalan yang mirip dengan sistem persinyalan pada kereta api.
Sistem persinyalan trem otonom dirancang untuk memprioritaskan kereta pada jalan raya, sehingga memastikan keselamatan penumpang maupun pengguna jalan raya lainnya.
Sistem persinyalan ini bekerja dengan mengirimkan sinyal kepada lampu lalu lintas dari sarana trem otonom, pada jarak 100 meter sebelum trem otonom melintas, sehingga dapat memprioritaskan trem tanpa halangan, begitupun sebaliknya.
Sistem persinyalan yang dilengkapi sensor ini akan memberi tahu trem otonom jika di depannya ada halangan maupun sarana trem otonomom lainnya, sehingga dapat menyesuaikan laju kereta. Cara kerja persinyalan ini sama dengan cara kerja persinyalan kereta berbasis komunikasi (_communication based train control_) yang mengatur jarak aman antar kereta secara otomatis.
Perbedaan lain dari trem otonom dengan bus gandeng adalah pada trem otonom, moda transportasi ini dijalankan secara maju pada dua arah. Sementara, bus gandeng hanya memiliki satu sisi muka dan dioperasikan maju pada satu arah.
*Rencana angkutan umum*
Pemerintah Kota Semarang sudah beberapa kali merencanakan ada jaringan kereta di dalam kota. Pasalnya, pernah ada trem di Kota Semarang di Jaman Hindia Belanda yang membentang sejauh 8 km dari Jomblang hingga Banjir Kanal Barat yang melintasi Jl. Mayjend. MT Haryono (Jl. Mataram), Jl. Agus Salim (Jl. Jurnatan), Jl. Pemuda (Jl. Bojong) dan Jl. Soegijapranata (Jl. Bulu). Namun ditutup oleh Pemerintah Hinda Belanda tahun 1940, sebelum Kemerdekaan Indonesia.
Walikota Semarang Hendrar Prihadi merencanakan membangun jalur trem di Kota Semarang. Kemudian ingin mengikuti jejak Kota Palembang yang sudah memiliki LRT, akan membangun LRT jalur Pasar Bulu – Bandara A. Yani. Dokumen teknis dan studi kelayakan sudah disiapkan, namun hingga kini belum bisa terwujud. Kendala keterbatasan anggaran menjadi penyebabnya, selain persoalan teknis lainnya. Pasalnya untuk membangun jalur kereta tidak semurah membangun angkutan umum berbasis jalan raya (bus). Sekarang, Walikota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu menggagas _Autonomous Rail Transit_ (ART) atau Trem Otonom. Tentunya, dibutuhkan dukungan anggaran yang besar serta mengkondisikan perilaku pengguna jalan di Semarang agar tertib berlalu lintas.
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sudah merencanakan ada jalur dedicated lane (jalur khusus) untuk lima kota metropolitan, salah satunya di Kota Semarang. Tahun ini baru dua kota yang akan segera terwujud ada jalur khusus itu, yaitu Medan dan Bandung. Selanjutnya, akan dibangun di Semarang, Surabaya dan Makassar.
Bus Trans Semarang direncanakan sejak 2005 dan sudah beroperasi 18 September 2009. Saat ini, Trans Semarang mengoperasikan 287 bus di delapan rute koridor dan empat rute angkutan pengumpan atau _feeder_. Selain itu, Trans Semarang juga melayani satu koridor layanan malam.
Tarif yang dikenakan untuk penumpang umum setiap perjalanan sebesar Rp 4.000 per penumpang. Sementara itu, untuk penumpang khusus, seperti anak balita, pelajar, mahasiswa, orang lansia, veteran, dan penyandang disabilitas, tarif yang dikenai Rp 1.000 per orang.
Angkutan becak, bemo dan angkot (daihatsu) telah akrab bagi warga Semarang di masa lalu. Bus Perum Damri mulai beroperasi tahun 1979 di Kota Semarang, ketika mulai dibangun kawasan perumahan. Bus Damri melayani Perumnas Banyumanik dan Perumnas Krapyak. Lalu ketika dibangun Perumahan Pucang Gading oleh swasta, ada layanan Bus Damri. Sementara Perumnas Sampangan dan Perumnas Tlogasari dilayani angkot. Semua trayek itu, baik Bus Damri maupun angkot menuju Pasar Johar melewati kawasan perkantoran dan sejumlah sekolah. Pasar Johar sebagai pusat aktivitas yang dituju, karena pusat perbelanjaan modern pada saat itu belum berkembang seperti sekarang.
Ke depan, pengembangan angkutan umum berbasis jalan yang lebih cepat, murah dan mudah untuk dikembangkan. Semua kawasan perumahan di Kota Semarang, hendaknya mendapat layanan angkutan umum. Saat ini di Kota Semarang terdapat112 kawasan perumahan. Tidak sampai 10 persen kawasan perumahan itu dilewati Trans Semarang.
Pengoperasian ART tidak hanya berbiaya mahal (anggaran terbatas), namun perlu kesiapan kondisi jaringan jalan seperti di IKN (Ibu Kota Negara). Perlu menyediakan lahan untuk depo kereta. Subsidi pasti akan lebih besar dan yang mengoperasikan pasti operator baru. Mampukah APBD Kota Semarang?
Disamping itu, tidak bisa melibatkan pengusaha angkot yang sekarang tersingkirkan. Jika mengembangkan Trans Semarang, pengusaha angkot yang ada tidak tersingkir. Pengusaha angkot dibina menjadi operator Trans Semarang, sehingga tidak perlu menghadirkan pengusaha baru lagi.
Kita tunggu, program transportasi dari dua Calon Walikota dan Wakil Walikota Semarang, tawaran apa yang akan diberikan ke masyarakat Semarang dalam rangka pengembangan Trans Semarang ke depan.
(Djoko Setijowarno adalah Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah MTI Pusat)

