Kisah Bus Perintis di Aceh yang Menghubungkan Daerah Terisolir
Oleh: Djoko Setijowarno
Provinsi Aceh memiliki bentang geografis yang unik—sekaligus menantang. Wilayahnya terdiri atas daratan luas, pegunungan, dan pulau-pulau terluar yang sebagian masih terisolasi. Dalam kondisi demikian, keberadaan bus perintis menjadi lebih dari sekadar alat transportasi. Ia adalah urat nadi konektivitas sosial dan ekonomi yang menghubungkan warga di pelosok dengan pusat kegiatan ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan.

Program angkutan perintis di Aceh yang dioperasikan oleh Perum Damri melalui dukungan subsidi Kementerian Perhubungan merupakan bentuk nyata kehadiran negara di wilayah yang belum terjangkau layanan transportasi komersial. Tercatat hingga 2025, terdapat 12 trayek aktif dengan panjang lintasan mencapai 999 kilometer. Rute tersebut menjangkau berbagai daerah seperti Sinabang–Sibigo, Sinabang–Alafan, Meulaboh–Woyla, hingga Laweung–Sigli.
Setiap rute tidak sekadar menghubungkan satu titik ke titik lain, tetapi melewati ratusan fasilitas publik—sekolah, rumah sakit, pasar, kantor pemerintahan, hingga terminal. Keberadaan jalur ini membuka akses bagi ribuan warga yang sebelumnya harus menempuh perjalanan panjang dan mahal hanya untuk menjual hasil bumi, mengakses layanan kesehatan, atau mengurus administrasi.
Dampak Sosial dan Ekonomi yang Signifikan
Transportasi memiliki efek ganda terhadap pembangunan wilayah. Ketika akses terbuka, perputaran ekonomi pun meningkat. Di Aceh, layanan bus perintis terbukti menjadi pengungkit ekonomi daerah. Salah satu contohnya adalah Pulau Simeulue. Dua rute utama, Sinabang–Sibigo dan Sinabang–Alafan, kini menjadi jalur penting bagi mobilitas orang dan barang.
Sebelum hadirnya bus perintis, warga harus mengandalkan kendaraan pribadi dengan biaya tinggi, atau bahkan menempuh perjalanan kaki melalui jalur hutan dan pegunungan. Kini, hasil bumi seperti kelapa, cengkih, dan hasil laut dapat dibawa ke pasar Sinabang dengan waktu lebih singkat dan biaya jauh lebih murah. Efeknya terasa nyata: biaya logistik turun, pendapatan petani dan nelayan meningkat.
Selain ekonomi, aspek sosial pun turut terdorong. Banyak pelajar dan tenaga kesehatan kini lebih mudah bepergian ke sekolah dan puskesmas. Layanan publik menjadi lebih terjangkau. Bahkan, dalam kondisi darurat medis, bus perintis kerap menjadi satu-satunya moda transportasi yang bisa diandalkan untuk membawa pasien ke rumah sakit terdekat.
Subsidi yang Tepat Sasaran
Program subsidi angkutan perintis merupakan instrumen kebijakan publik yang krusial. Skema ini ditujukan untuk melayani daerah dengan potensi ekonomi rendah, di mana operator swasta enggan beroperasi karena faktor komersialitas. Dengan kata lain, subsidi bukanlah beban negara, melainkan investasi sosial.
Namun efektivitasnya tetap bergantung pada dua hal: ketepatan sasaran dan keberlanjutan layanan. Di Aceh, subsidi yang diberikan kepada Damri sudah berjalan tepat sasaran karena benar-benar menyentuh wilayah terpencil. Meski begitu, tantangan keberlanjutan masih ada, terutama terkait kondisi armada dan infrastruktur jalan.
Armada Tua dan Infrastruktur Terbatas
Sebagian besar armada bus perintis di Aceh telah beroperasi lebih dari tujuh tahun. Usia kendaraan yang menua berdampak pada penurunan kenyamanan, efisiensi bahan bakar, dan risiko keselamatan. Beberapa unit bahkan harus sering masuk bengkel karena kendala teknis.
Di sisi lain, masih terdapat 57 kilometer ruas jalan perintis yang rusak atau belum diaspal, terutama di daerah pedalaman. Kondisi ini menyebabkan waktu tempuh perjalanan menjadi lama dan perawatan kendaraan semakin mahal. Padahal, infrastruktur jalan merupakan prasyarat utama agar subsidi transportasi dapat berfungsi optimal.
Tanpa peremajaan armada dan perbaikan jalan, potensi besar dari layanan perintis akan sulit berkembang. Pemerintah daerah dan pusat perlu bersinergi dalam penyediaan anggaran untuk memperbaiki akses jalan sekaligus memperbaharui bus.
Mendorong Integrasi Transportasi Daerah
Keberhasilan program perintis juga bergantung pada kemampuan pemerintah daerah dalam mengintegrasikan moda transportasi. Bus perintis seharusnya tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari jaringan transportasi antarmoda, seperti kapal perintis dan layanan udara perintis.
Integrasi ini penting terutama di wilayah kepulauan seperti Simeulue atau Singkil, di mana konektivitas darat harus tersambung dengan akses laut. Koordinasi antara Kementerian Perhubungan, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten menjadi kunci.
Selain integrasi fisik, dibutuhkan pula sistem digitalisasi informasi jadwal dan rute, agar masyarakat dapat merencanakan perjalanan dengan lebih mudah. Dengan begitu, kehadiran bus perintis tidak hanya dirasakan secara fisik, tetapi juga menjadi bagian dari transformasi digital pelayanan publik di sektor transportasi.
Peluang Ekonomi Baru
Dengan keterhubungan wilayah yang semakin baik, muncul potensi ekonomi baru yang bisa dikembangkan. Transportasi yang lancar membuka peluang ekowisata, perdagangan hasil pertanian, serta jasa logistik mikro.
Beberapa daerah di Aceh, seperti Woyla dan Alafan, memiliki kekayaan alam yang dapat menjadi daya tarik wisata. Namun tanpa akses jalan dan transportasi publik, potensi itu hanya menjadi wacana. Bus perintis dapat menjadi pemicu awal aktivitas wisata lokal, misalnya dengan menghubungkan destinasi alam dan budaya dengan pusat kota.
Selain itu, sistem transportasi yang efisien akan mendorong investasi swasta. Investor cenderung lebih tertarik masuk ke wilayah yang memiliki kepastian akses logistik. Dengan demikian, efek domino dari program perintis tidak hanya berhenti pada layanan transportasi, tetapi juga memacu pertumbuhan ekonomi baru.
Menatap ke Depan
Konektivitas wilayah adalah fondasi pembangunan nasional yang inklusif. Dalam konteks Aceh, bus perintis bukan sekadar kendaraan umum, tetapi simbol keadilan sosial dan pemerataan pembangunan.
Ke depan, pemerintah perlu menyiapkan strategi revitalisasi layanan perintis dengan tiga pendekatan, yaitu peremajaan armada dan peningkatan standar keselamatan, perbaikan infrastruktur jalan perintis dan integrasi dengan moda lain dan digitalisasi sistem layanan untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi penggunaan subsidi.
Sinergi antara pusat, daerah, BUMN, dan masyarakat harus diperkuat. Pemerintah Aceh dapat berperan lebih aktif dalam menyediakan dukungan lahan, terminal, dan bengkel. Sementara itu, Kementerian Perhubungan menjaga konsistensi anggaran subsidi dan mendorong inovasi pengelolaan berbasis data.
Ketika akses transportasi terbuka, roda ekonomi berputar, layanan publik menjangkau semua lapisan masyarakat, dan harapan baru tumbuh di pelosok negeri. Di situlah makna sejati dari bus perintis: menghubungkan yang jauh, mendekatkan yang terpisah, dan menghadirkan negara di setiap kilometer perjalanan rakyatnya.
(Djoko Setijowarno adalah
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata / Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat)