Yuliantoro (alumnus Sosiologi UGM). [Foto: Ist)
Yuliantoro (alumnus Sosiologi UGM). [Foto: Ist)
|

Soeharto, PKI, dan Umat Islam: Luka yang Sama dari Kekuasaan yang Menindas

Oleh: Yuliantoro*

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menimbulkan luka lama yang terbuka kembali. Banyak yang mempertanyakan, apakah pantas seorang penguasa yang menindas rakyatnya, termasuk umat Islam, dikenang sebagai pahlawan bangsa? KH Mustofa Bisri menolak keras. “Pahlawan itu yang memuliakan rakyat, bukan yang menindasnya,” ujarnya dalam sebuah wawancara. Dari kalangan Muhammadiyah, Usman Hamid menegaskan bahwa pahlawan sejati adalah mereka yang berpegang pada kebenaran hingga akhir hayatnya. Sementara kasus hukum Soeharto, termasuk dugaan korupsi besar yang membelitnya, tak pernah benar-benar selesai.

Pada masa awal kekuasaannya, Soeharto tampil sebagai penyelamat bangsa setelah tragedi 1965. Ia merangkul umat Islam untuk menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, setelah kekuasaan kokoh, umat Islam justru menjadi korban berikutnya. Menurut R. William Liddle dalam Islam and Politics in New Order Indonesia (1996), Soeharto memandang Islam politik sebagai ancaman stabilitas nasional, sama halnya seperti ia memandang PKI di masa lalu. Umat Islam yang dulu dijadikan sekutu untuk menumpas komunisme, kemudian dikontrol secara ketat dan dijauhkan dari politik.

Kebijakan politik Orde Baru terhadap Islam berlangsung sistematis. Tahun 1973, partai-partai Islam dipaksa melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama (2001) menyebut kebijakan ini sebagai langkah untuk “menjinakkan Islam.” Politik Islam harus berada di bawah kendali negara. Mereka yang melawan dianggap ekstrem dan menjadi sasaran kekerasan negara.

Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 menjadi simbol kekejaman itu. Ketika umat Islam menolak perilaku Babinsa militer di masjid, aparat justru menembaki jamaah. Ratusan orang tewas. Lima tahun kemudian, tragedi Lampung (Talangsari 1989) kembali menumpahkan darah. Laporan Komnas HAM (2008) menyebut, aparat menuduh warga sebagai “pemberontak Islam” hanya karena mereka menginginkan kehidupan beragama yang merdeka.

Ariel Heryanto dalam State Terrorism and Political Identity in Indonesia (2006) menyebut rezim Orde Baru sebagai “negara ketakutan.” Siapa pun yang berbeda pandangan akan diawasi, dibungkam, atau dihapus. Umat Islam, terutama yang aktif secara politik, hidup dalam tekanan. Mereka tidak dibunuh secara massal seperti PKI, tetapi dikontrol dan ditindas dalam senyap. Kampus Islam, pesantren, dan ormas dipantau ketat oleh intelijen.

Perlakuan Orde Baru terhadap PKI dan kelompok Islam sesungguhnya berangkat dari logika kekuasaan yang sama. Keduanya dianggap ancaman terhadap stabilitas. PKI dimusnahkan dengan darah dan stigma; Islam politik dikendalikan dengan kebijakan dan rasa takut. Seperti dicatat Arief Budiman dalam State and Civil Society in Indonesia (1999), Soeharto menciptakan stabilitas bukan dari keadilan, melainkan dari represi yang membungkam.

Puncak penjinakan itu datang lewat kebijakan Asas Tunggal Pancasila pada 1985. Semua organisasi diwajibkan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Islam politik kehilangan identitasnya. Mereka yang menolak dibungkam, dipenjara, bahkan dibunuh. Soeharto berhasil mengubah kekuatan moral Islam menjadi kekuatan yang manut pada negara.

Kini, ketika Soeharto diusulkan sebagai pahlawan, pertanyaan moral muncul: apakah bangsa ini benar-benar telah kehilangan memori tentang luka masa lalu? Gus Mus menyebut, memuliakan Soeharto berarti melupakan penderitaan umat yang pernah ia tindas. “Jangan kita menipu sejarah,” katanya. Usman Hamid menambahkan, pemberian gelar itu sama dengan menistakan korban pelanggaran HAM dan menormalkan kekuasaan yang korup.

Soeharto memang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, tetapi seperti diingatkan Benedict Anderson dalam Language and Power (1990), stabilitas tanpa kebebasan adalah ilusi. Ia dibangun di atas ketakutan dan darah rakyat. Luka itu belum sembuh.

Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti menghapus tangisan di Tanjung Priok, memudarkan doa di Talangsari, dan menutup mata atas represi yang dialami umat Islam. Sejarah tidak boleh dimanipulasi menjadi panggung glorifikasi. Bangsa yang memuliakan penindasnya, kata Gus Mus, bukanlah bangsa yang besar—melainkan bangsa yang kehilangan nurani. *

*)Yuliantoro – alumnus Sosiologi UGM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *