Agus Widyanto
Agus Widyanto, wartawan senior, peminat kebudayaan dan falsafah Jawa.(BahteraJateng)

Salah Kaprah “Isin Mundur” dengan “Mundur Isin”

Menelusuri Rahasia Primbon Kepemimpinan (Politik) Jawa (8)

Oleh: Agus Widyanto


Prolog: Masyarakat Jawa memiliki Khazanah yang cukup banyak tentang kepemimpinan dan bagaimana menjadi seorang pemimpin. Nilai-nilai falsafi kepemimpinan -termasuk di dalamnya kepemimpinan politik- tersebut, sayangnya, sering dicibir karena ada pemimpin beretnis Jawa yang perilaku politiknya tidak seperti nilai-nilai kepemimpinan adhiluhung yang diajarkan. Nilai-nilai falsafi adalah adalah ukuran ideal, sedangkan perilaku adalah praktek yang terlihat. Karenanya, memahami nilai-nilai kepemimpinan (politik) Jawa agar tahu tolok ukur terhadap praktek kepemimpinan yang ada. Bahtera Jateng akan menyajikan secara serial nilai-nilai kepemimpinan (politik) yang ada dan (pernah) tumbuh di masyarakat Jawa sebagai penyegar ingatan kita semua. Semoga bermanfaat.

PADA prosesi pengantin Jawa ada ritual yang disebut Sinduran. Wujud Sinduran terlihat pada adegan Ayah pengantin wanita menghela pasangan pegantin menuju pelaminan dengan kain merah putih sebagai lambing mengantar pasangan menuju kehidupan baru. Dalam prosesi itu, bu dari pengantin wanita akan mengikuti di belakang kedua mempelai, memegang kain sindur yang membalut pundak mereka.

Sinduran disebut pula Singepan Sindur, memiliki makna “Isin Mundur” sebagai penegasan bahwa pasangan yang memulai kehidupan berkeluarga harus menjaga ikatan kebersamaan dengan semangat “isin Mundur” alias pantang menyerah. Kain sindur yang berwarna merah putih memiliki arti merah sebagai simbol bapa (bopo) atau ayah, sementara warna putih bermakna biyung atau ibu yang suci. Makanya ada ungkapan “Ibu bumi bopo angkoso” sebagai manifestasi pemahaman kesatuan dua pihak dalam keluarga.

Dalam Bahasa populer, isin mundur sebelas dua belas dengan semboyan “Sekali layar terkembang surut kita berpantang”. Adapun filosofi upacara Sinduran sekaligus mengingatkan bahwa perjalanan sebuah rumah tangga pasti menghadapi gelombang kehidupan. Bisa besar, bisa kecil, yang pasti tidak ada lautan yang landai tak berombak.

Perjalanan kehidupan rumah tangga ibarat perahu yang sedang berlayar menuju Pantai harapan. Makin besar perahu yang dipakai, sekilas makin nyaman namun membutuhkan kemampuan mengorganisasikan dengan baik. Suami sebagai nahkoda tidak mungkin menangani semua urusan yang ada, di sini peran istri mengurus hal-hal yang tidak bisa ditangani sang nahkoda.

Kehadiran anggota keluarga mulai dari anak ataukah orang lain yang masuk kedalamnya dalam posisi tertentu, dalam prosesnya akan mendapatkan tugas dan peran tertentu dalam “kapal rumah tangga”. Pengorganisasian inilah yang sering menimbulkan konflik, karena masing-maisng anggota keluarga pasti memiliki sifat, keinginan dan harapan yang tidak mungkin diseragamkan. Karena itu, Sinduran diperlukan untuk mengingatkan agar tidak mudah menyerah jika menghadapi gelombang kehidupan: Isin Mundur.

Yang menggelisahkan, semboyan “Isin Mundur” dalam keseharian dirancukan dengan “Mundur Isin”, sehingga menjadi salah kaprah. Banyak yang menyamakan “Isin Mundur” dengan “Mundur Isin”, meski dalam teori bahasa setiap rangkaian kata yang susunannya berbeda meski disusun dengan unsur kata yang sama akan memiliki arti yang berbeda. Kalau tidak salah teori itu disebut morfologi, kajian linguistik atau ilmu kebahasaan tentang bentuk-bentuk dan pembentukan kata; ada pula yang mendefinisikan sebagai bagian ilmu bahasa yang mempelajari mengenai seluk-beluk kata dan pengaruh perubahan bentuk kata pada golongan dan juga arti kata.

Meski tidak banyak referensi yang bisa dipakai sebagai rujukan, bisa dipastikan bahwa “Mundur Isin” berbeda dengan “Isin Mundur”. Katakanlah kita abaikan pedoman morfologi bahasa, memakai acuan “rasa bahasa” pun kedua rangkaian kata tersebut memiliki perbedaan.

Kalau “Isin Mundur” adalah falsafah tentang kehidupan rumah tangga dan bisa diperluas pemakaiannya dalam kehidupan bermasyarakat yang inti pesannya untuk tidak mudah menyerah menghadapi persoalan yang dihadapi; sedangkan semboyan “Mundur Isin” subyeknya adalah orang atau sekelompok orang atau bisa juga lembaga yang tidak mau melangkah mundur meski apa yang dilakukannya salah, yang dilakukan tidak sesuai dengan keadaan yang dihadapi. “Mundur Isin” lebih terasa sebagai sebuah ego, kesombongan, keras kepala, “mbegugug mahkutha waton” (bersiteguh mengalaskan pada asal, pokoknya) dari orang, lembaga atau sekelompok orang. Tidak mau mundur karena malu, meski tahu apa yang dilakukannya salah, keliru, atau tidak pas.

Adagium “Mundur Isin” jika dilakukan secara bulat seperti melawan ajaran baik “Sapa salah seleh (siapa yang bersalah harus mundur, meletakkan jabatannya)”. Seleh atau mengakui kesalahan, sejatinya tidak harus dilakukan secara bulat utuh, tapi ada kearifan untuk keseimbangan yakni “ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu bolehlah, tapi jangan segitunya)” karena dasar kebenaran dalam perspektif Jawa mengandung dua unsur, yaitu “Bener lan Pener” (Benar dan Pas). Dengan begitu, “seleh” bisa dilakukan dengan dasar “mulat sarira hangrasa wani (berani melakukan koreksi diri)”, misalnya dengan mengubah atau menyesuaikan sebuah kebijakan agar bisa memenuhi unsur “Bener lan Pener”.

Bisa saja sebuah kebijakan secara teoritis dan logika benar, tapi momentum penerapannya tidak pas. Ketidak-pasan bisa mencakup karena kurang siap sumber daya manusianya, tidak pas musimnya, tidak pas sasarannya, atau ketidak-pasan faktor lain.

Kita ambil contoh sebuah program yang bagus dan benar, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG). Tidak ada yang salah dengan program ini karena sudah banyak negara yang berhasil melakukannya dan memberi manfaat yang signifikan. Program MBG bisa diterima dengan nalar, akal sehat, bahkan secara akademik. Hanya saja ada momentum yang tidak mendukung. Menyediakan paket makan siang untuk 3.000 anak atau tiga ribu orang dari satu dapur setiap hari lima hari seminggu bukan pekerjaan mudah. Mempersiapkan dapur besar dalam waktu singkat, apalagi secara massal dengan target melayani 82,9 juta penerima program hingga akhir 2025; itu bukan hal mudah karena tidak hanya menyangkut teknis, tapi perlu juga keahlian khusus.

Memasak butuh keahlian, tidak semua orang berbakat menjadi koki; sehingga mempekerjakan ratusan ribu orang yang tidak punya ketrampilan memasak bukan Solusi atas permasalahan penyediaan pangan secara massal. Dalam proses penyediaan yang dilakukan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) selain butuh juru masak yang berkemampuan, juga harus didukung system pasok bahan baku, system belanja, dan system pembersihan nampan makan (saya tidak setuju penggunaan istilah “Ompreng”) yang bukan saja harus terorganisir dengan baik, tapi terkontrol juga.

Ketidak-pasan sering menimbulkan risiko. Pada program MBG muncul masalah seperti keracunan makanan pada penerima program, satu akibat yang tidak elok kalau dilihat secara statistical semata dengan menafikan karena angka persentasenya. Ada baiknya penyelenggara tidak mencari dalih ini-itu karena “Mundur Isin”. Bersikap “Seleh” dengan mempertimbangkan kemampuan nyata, atau dengan merevisi sasaran program secara lebih spesifik dan dengan kesadaran mereduksi “angka capaian”-nya, tentu akan lebih bijaksana.

Kalau goal MBG adalah memberi asupan gizi yang memadai untuk anak-anak kita, juga untuk kelompok 3B (Bumil, Busui, Balita non-PAUD); tidak perlu memaksakan MBG ke sekolah-sekolah yang siswanya sudah tercukupi -bahkan banyak yang kelebihan gizi. Kalau materialnya adalah asupan yang mengandung gizi, bisa juga direnungkan mana yang lebih tepat yang diberikan, “Makan” atau “Makanan”? Membuka dialog, mendengar masukan untuk perbaikan akan lebih baik daripada bersikukuh “Mundur Isin” karena kritik bukan untuk mempermalukan, tapi membuat kebijakan menjadi benar dan pas.

(Agus Widyanto adalah wartawan senior, peminat kebudayaan dan falsafah Jawa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *