|

Bus Trans Koetaradja: Bukti Nyata Transportasi Publik Gratis Itu Ada

Oleh: Djoko Setijowarno

Transportasi publik sering kali menjadi persoalan klasik di kota-kota Indonesia. Ketika kemacetan kian menyesakkan, polusi udara meningkat, dan ruang publik menyempit karena dominasi kendaraan pribadi, solusi sering kali berhenti di tataran wacana. Namun, di tengah berbagai keterbatasan itu, Aceh menunjukkan contoh nyata bahwa layanan transportasi publik yang gratis, aman, dan berkelanjutan bukanlah utopia.


Itulah yang ditunjukkan oleh Bus Trans Koetaradja, layanan transportasi publik kebanggaan masyarakat Banda Aceh dan Aceh Besar.

Diluncurkan pertama kali pada 2 Mei 2016, Trans Koetaradja menjadi tonggak baru transportasi massal di ujung barat Indonesia. Saat awal beroperasi, hanya ada satu koridor—dari Masjid Raya Baiturrahman menuju kawasan kampus di Darussalam—dengan 25 unit bus hibah dari Kementerian Perhubungan. Kini, hampir satu dekade kemudian, Trans Koetaradja telah berkembang pesat dengan 59 unit bus yang melayani 15 rute, terdiri atas enam koridor utama dan sembilan rute feeder yang menjangkau hingga ke wilayah padat penduduk di Aceh Besar.

Perkembangan ini menunjukkan keseriusan Pemerintah Aceh untuk membangun sistem transportasi publik yang berkeadilan sosial. Nama “Koetaradja”, diambil dari nama lama Banda Aceh, bukan sekadar simbol nostalgia, tetapi penegasan bahwa modernitas dan kearifan lokal bisa berjalan beriringan.

Komitmen Pemerintah dan Layanan yang Manusiawi

Sejak awal, Trans Koetaradja dirancang untuk menjawab kebutuhan dasar warga: mobilitas yang mudah, murah, dan bermartabat. Pemerintah Aceh mengambil langkah berani dengan menanggung penuh seluruh biaya operasional melalui APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh). Tidak ada pungutan tarif sepeser pun bagi pengguna.
Kebijakan ini menjadikan Trans Koetaradja sebagai satu dari sedikit sistem transportasi publik di Indonesia yang benar-benar gratis, tanpa membebani pengguna dengan skema subsidi silang atau tiket elektronik.

Anggaran operasionalnya pun meningkat signifikan, dari Rp1,73 miliar pada 2016 menjadi Rp12,65 miliar pada 2025. Bagi sebagian orang, angka ini mungkin terlihat besar. Namun bila dibandingkan dengan manfaat sosial, ekonomi, dan ekologis yang dihasilkan, investasi tersebut justru tergolong efisien. Trans Koetaradja telah membantu ribuan warga, terutama pelajar dan mahasiswa, untuk beraktivitas tanpa biaya transportasi harian. Dampaknya terasa nyata bagi keluarga berpenghasilan rendah yang kini bisa mengalokasikan dana transportasi untuk kebutuhan lain yang lebih penting.

Selain efisiensi ekonomi, aspek pelayanan publik menjadi daya tarik tersendiri. Semua armada dilengkapi dengan pendingin udara, kursi prioritas bagi lansia dan penyandang disabilitas, serta fasilitas ramah lingkungan. Keamanan penumpang juga menjadi prioritas utama. Tidak sedikit warga yang mengaku lebih nyaman menggunakan bus ini dibandingkan ojek daring, terutama untuk perjalanan jauh.

Integrasi Layanan dan Inovasi Digital

Pemerintah Aceh tidak berhenti pada penyediaan bus gratis semata. Dari tahun ke tahun, pengembangan jaringan terus dilakukan agar layanan semakin inklusif.
Kini tersedia 94 halte permanen, 87 halte portable, dan 10 shelter yang tersebar di berbagai titik strategis. Untuk menjangkau area yang lebih luas, rute feeder atau pengumpan ditambahkan agar masyarakat dari pinggiran kota tetap bisa terhubung ke koridor utama.

Salah satu inovasi menarik adalah Trans Campus, layanan khusus untuk kawasan pendidikan tinggi seperti Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry. Rute ini menggunakan bus feeder berkapasitas 30 penumpang dengan waktu operasi 07.30–17.05 dan ritase hingga 10 kali per hari. Kehadiran Trans Campus membuat mahasiswa tidak perlu lagi mengandalkan kendaraan pribadi atau ojek daring.
Selain itu, Trans Meudiwana hadir setiap akhir pekan unt-tempat rekreasi seperti Pantai Lampuuk dan Pelabuhan Ulee Lheue. Program kolaboratif ini menunjukkan bahwa layanan publik tidak harus kaku; ia bisa adaptif terhadap kebutuhan masyarakat.

Kemajuan lain adalah penerapan aplikasi digitaluk melayani wisatawan menuju tempat yang memungkinkan pengguna melacak posisi bus secara real-time. Hal ini membantu penumpang merencanakan perjalanan dengan efisien tanpa harus menunggu lama di halte. Bagi generasi muda yang terbiasa dengan teknologi, inovasi ini menjadi nilai tambah besar.

Tantangan yang Masih Mengadang

Meski dinilai berhasil, Trans Koetaradja bukan tanpa kendala. Tantangan utama adalah ketepatan waktu. Karena tidak memiliki jalur khusus, bus sering terjebak di kemacetan, terutama pada jam sibuk.
Bagi sebagian pengguna, keterlambatan ini mengurangi daya tarik layanan, terutama bagi mereka yang memiliki jadwal ketat seperti pekerja kantoran.

Selain itu, akses ke halte juga masih menjadi masalah di beberapa kawasan. Jarak halte yang jauh dari permukiman membuat sebagian warga enggan berjalan kaki atau berpindah moda. Di sinilah peran pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, menjadi penting untuk memperkuat layanan micro feeder—bus kecil yang menjangkau gang atau kawasan perumahan padat.

Tantangan lain datang dari persepsi masyarakat kelas menengah ke atas yang masih menganggap transportasi publik sebagai pilihan “kelas dua”. Padahal di banyak negara maju, naik transportasi umum justru menjadi simbol efisiensi dan kepedulian lingkungan.
Perlu perubahan budaya dan kampanye publik yang kuat agar masyarakat mau meninggalkan kendaraan pribadi demi keberlanjutan kota.

Manfaat Sosial dan Lingkungan

Trans Koetaradja memberikan dampak sosial yang signifikan. Layanan ini menumbuhkan rasa keadilan sosial dengan memastikan bahwa mobilitas bukan hak eksklusif bagi mereka yang mampu. Masyarakat berpenghasilan rendah, pelajar, hingga penyandang disabilitas semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses ruang kota.

Dari sisi lingkungan, pengurangan kendaraan pribadi berarti pengurangan emisi karbon. Bila layanan ini terus diperluas dan masyarakat semakin banyak beralih, Banda Aceh berpotensi menjadi kota dengan udara bersih dan lalu lintas tertib—sebuah capaian yang jarang dimiliki kota lain di Indonesia.

Lebih jauh lagi, kehadiran Trans Koetaradja memicu efek ekonomi berantai. Aksesibilitas yang meningkat membuat aktivitas perdagangan dan pariwisata tumbuh. Masyarakat dapat menjangkau pasar, sekolah, dan tempat wisata dengan mudah tanpa biaya tambahan. Efek domino positif ini adalah bukti bahwa transportasi publik yang baik adalah investasi sosial, bukan beban fiskal.

Harapan dan Teladan

Keberhasilan Trans Koetaradja memberi pelajaran berharga bagi daerah lain. Bahwa layanan publik tidak harus berbayar agar berkualitas. Gratis bukan berarti murahan, asalkan dikelola dengan sistem yang transparan dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.

Pemerintah daerah lain seharusnya mencontoh pendekatan Aceh yang memadukan keberpihakan sosial, kearifan lokal, dan inovasi teknologi. Dengan desain kebijakan yang tepat, transportasi publik gratis bisa menjadi alat pemerataan ekonomi sekaligus pengendali kemacetan dan polusi.

Tentu, ke depan Trans Koetaradja masih perlu perbaikan. Jalur khusus bus, integrasi dengan angkutan antarwilayah, serta sistem pendataan penumpang berbasis digital bisa menjadi langkah lanjutan untuk menjadikannya lebih efisien.

Namun, di atas semua itu, Trans Koetaradja telah membuktikan satu hal penting: bahwa visi transportasi publik yang berkeadilan dan gratis bukan sekadar mimpi, tetapi kenyataan yang bisa diwujudkan dengan komitmen politik, perencanaan matang, dan semangat pelayanan publik.

Banda Aceh telah menyalakan contoh baik bagi Indonesia. Kini, tinggal bagaimana daerah lain mau menyalakan nyala yang sama—karena kota yang maju bukan diukur dari banyaknya mobil pribadi, melainkan dari seberapa banyak warganya mau naik bus.

(Djoko Setijowarno adalah Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *