Bedah Film
Pemutaran dan bedah film “Sa’diang Harus Pulang (Butterfly on a River)”, baru-baru ini di Gedung PKM Kampus Barat UIN Sunan Kudus.(Dok BahteraJateng/Girindra)
|

Bedah Film Sa’diang Harus Pulang, Potret Negara Abai Persoalan Kemanusiaan di Wilayah Terpencil

KUDUS[BahteraJateng] – Sa’diang mengapung dengan jerigen-jerigen kosong di punggungnya. Tubuh Perempuan pengumpul air (passaug wai) asal Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, seolah menantang derasnya arus Sungai Mandar menuju sumur-sumur kecil di tepi sungai untuk mendapatkan air tawar.

Cuplikan adegan Sa’diang berjuang mendapatkan air bersih, yang kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup tersaji secara sinematik melalui kamera drone.

Bak kupu-kupu menari di atas sungai, visualnya tidak hanya menyenangkan mata penonton, tetapi juga membawa pesan tersirat penuh makna yang dibungkus dalam film dokumenter berjudul Sa’diang Harus Pulang (Butterfly on a River) karya sutradara Ulfa Evitasari.

Kisah Sa’diang yang mengangkat isu kemanusiaan terasa tepat dibedah dalam momentum peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, tentang pemenuhan hak dasar kelompok rentan masyarakat yang hidup di wilayah terpencil dan persoalan lingkungan.

Isu ini yang memantik diskusi sarat makna dalam pemutaran dan bedah film “Sa’diang Harus Pulang (Butterfly on a River)”, baru-baru ini di Gedung PKM Kampus Barat UIN Sunan Kudus.

Tiga narasumber yang dihadirkan untuk membedah film dengan menyoroti dari berbagai perspektif.

Umi Qadarsasi, dosen Politik Pemikiran Islam UIN Sunan Kudus yang banyak melakukan riset kajian jender mengungkapkan, Sa’diang dalam film mampu merepresentasikan realitas perempuan Indonesia di wilayah yang luput dari perhatian negara.

“‎Film ini menggaungkan krisis yang dialami masyarakat, bagaimana perempuan mengambil beban ganda, persoalan air bersih, kemiskinan.Tapi negara belum hadir di tengah-tengah mereka,” ungkapnya.

‎Negara hadir paling dekat melalui pemda untuk memastikan kebutuhan dasar warga terpenuhi. Menurutnya, kondisi ini terjadi karena aspek kebijakan meninggalkan suara-suara mereka dan jarang diakomodir.

Seharusnya negara hadir untuk memenuhi hak dasar. Input politik menjadi penting berupa dukungan terhadap kebutuhan masyarakat khususnya hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar

“Masyarakat butuh fasilitator seperti parpol, lembaga non pemerintah, bahkan lewat media. ‎dapil menyerap aspirasi. Persoalan ini disuarakan. Tapi hal itu  juga bisa berbenturan dengan kepentingan,” imbuh perempuan yang pernah terlibat dalam program Indonesia mengajar di pulau terpencil.

Yang dimaksud Umi, masyarakat yang dekat dengan alam sebagai ruang hidupnya, terkadang menjadi korban, kehilangan suara, ruang hidup terampas, sungai tercemar, rentan penyakit.

“Pemerintah lebih melihat sebagai kebijakan mikro. Jadi mereka kalah ketika dibenturkan dengan kebijakan makro yang mengatasnamakan  pembangunan dan ekonomi dengan maraknya proyek seperti pertambangan.

Sedangkan Abas Fauzi, pemerhati film menekankan sisi teknik sinematografi pilihan sutradara dengan memilih pendekatan personal dan puitis.

“Lebih mengutamakan isu dengan pesan dan visual tersirat ketimbang dialog. Seperti memperlihatkan punggung Sa’diang yang memaknai dia teralu sering memikul air. Juga persoalan air bersih belum terselesaikan,” jelas dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kudus ini.

Abas menambahkan, film ini menjadi sarana advokasi dan kritik untuk pemerintah. Sehingga dari sisi isu yang kuat, tak heran film ini  berhasil menembus nominasi Festival Film Indonesia (FFI) kategori Dokumenter Pendek Terbaik 2025.

Acara bedah film dan diskusi yang diikuti mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kudus ini menjadi sarana memantik kepekaan mahasiswa pada isu-isu publik seperti isu kemanusiaan.

“Jadi sarana ruang-ruang diskusi dan empati pada isu-isu yang menjadi persoalan di Indonesia. Mahasiswa bisa melihat berbagai persoalan dan memahami dengan lebih mudah, lalu menyuarakan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menggelar ruang diskusi seperti ini,” ujar penanggungjawab acara, Muhammad Khoiru Wafi.

Berdasarkan laporan IDN Research Institute (Indonesia Gen Z Report 2024) menunjukkan tiga aspek penting yang menarik perhatian gen-Z, yakni isu kemanusiaan, kesetaraan dan hak asasi manusia, serta isu lingkungan.

Ini artinya, anak muda bukan hanya penonton dalam proses perubahan sosial, politik, lingkungan dan sosial budaya, tetapi aktor utama dan agen perubahan yang mengambil peran aktif dalam berbagai tingkatan keterlibatan di ruang-ruang tak terbatas, termasuk dalam lingkup institusi pendidikan.(day)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *