Yanuar Rachmansyah
Yanuar Rachmansyah.(Foto Ist)
| |

“Utang Tersembuyi“: Antara  Proyek Megah dan Beban Rakyat

Opini Keuangan Publik

Oleh : Dr. Yanuar


Di balik berdirinya rel kereta cepat, pelabuhan, dan pembangkit listrik yang menjulang gagah, tersimpan cerita lain yang jarang diungkap: utang tersembunyi kepada negara lain. Pinjaman ini tidak tercatat di APBN, namun bisa sewaktu-waktu meledak menjadi beban rakyat. Fenomena ini muncul karena ruang fiskal negara makin menipis. Pemerintah menghadapi kebutuhan pembangunan infrastruktur yang besar, sementara APBN terbebani belanja sosial, subsidi, dan defisit kronis. Alih-alih menata ulang kebijakan fiskal, beban justru digeser ke rakyat. Pajak dinaikkan dalam berbagai bentuk ,atas nama memperkuat kas negara. Ironisnya, di saat yang sama, publik disuguhi kabar kasus-kasus korupsi yang tak kunjung surut, hingga gaya hidup mewah para pejabat yang hobi flexing di media sosial. Kontras inilah yang membuat rakyat semakin sulit menerima alasan pemerintah ketika mengatakan fiskal negara “sulit” atau “butuh tambahan utang”.

Utang tersembunyi (hidden Debt) kemudian menjadi salah satu jalan pintas. Skema pinjaman dari negara Cina tampak menggiurkan: cepat cair, syarat lunak, dan bisa disalurkan lewat BUMN tanpa menambah angka resmi utang negara. Dari luar, tampak ideal—proyek berdiri, angka utang tetap terlihat kecil. Namun sejatinya ini sekadar “menyembunyikan masalah” sambil menanam bom waktu fiskal.

Utang tersembunyi muncul karena ruang fiskal negara yang sempit. Pemerintah di banyak negara, termasuk Indonesia, terbebani kebutuhan pembangunan infrastruktur yang begitu besar , baik karena kebutuhan maupun ambisi pemerintah -sementara kemampuan APBN terbatas. Fenomena utang tersembunyi (Hiddent Debt) lahir dari cara Cina menyalurkan pembiayaan. Bukan lewat pinjaman langsung ke pemerintah pusat, melainkan bisa disalurkan lewat BUMN, bank milik negara, perusahaan khusus (SPV), hingga joint ventur tanpa harus masuk ke laporan resmi utang pemerintah. Bagi penguasa, skema ini tampak ideal—proyek bisa berdiri, rakyat melihat hasilnya, sementara angka utang di APBN tetap terlihat aman. Namun di balik kemudahan itu, ada risiko besar yang sengaja “disembunyikan”.

Bersumber dari AidData yang dikutip Jakarta Post pada Oktober 2021 menegaskan bahwa Indonesia memiliki utang tersembunyi sebesar USD 17,28 miliar atau setara Rp 247 triliun. Nilainya lebih dari empat kali lipat utang kedaulatan resmi ke Cina yang hanya sekitar USD 3,9 miliar. “Indonesia owes $17.28 billion in hidden debt to China, mostly funneled through state-owned enterprises and not recorded as sovereign debt,” tulis Jakarta Post (11/10/2021). Sementara itu, Tempo menyoroti bahwa jumlah itu setara dengan 1,6 persen Produk Domestik Bruto Indonesia. Angka fantastis ini mayoritas disalurkan lewat BUMN untuk proyek infrastruktur strategis, terutama energi dan transportasi.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. AidData mencatat, skema serupa juga menjebak banyak negara lain. Di Asia, Laos terlilit proyek kereta cepat ke Cina senilai miliaran dollar,demikian pula  Pakistan menjadi salah satu penerima utang terbesar melalui proyek China-Pakistan Economic Corridor (CPEC). Ada juga Sri Lanka kehilangan kendali atas pelabuhan Hambantota dan terpaksa menyewakannya ke perusahaan Cina selama 99 tahun. Di Afrika, ada Zambia dan  Djibouti kini memiliki utang ke Cina setara lebih dari 70 persen PDB. Dan negara negara lainnya  termasuk Ekuador dan Venezuela .

Di Indonesia ada  proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Dijanjikan tanpa dana APBN, belakangan pemerintah tetap harus menyuntikkan ratusan juta dolar. Tempo mencatat bahwa proyek yang “awalnya disebut murni dibiayai investor swasta Cina, akhirnya justru menyedot dana APBN” (Tempo, 31/08/2021). Janji “utang swasta” akhirnya berubah menjadi utang rakyat.

Tidak bisa dipungkiri, hidden debt membawa janji manis. Infrastruktur bisa dibangun cepat tanpa menunggu anggaran APBN. Jalan tol, pembangkit listrik, hingga kereta cepat memberi kesan kemajuan pesat. Bagi pemerintah, proyek ini menambah legitimasi politik. Namun janji itu datang bersama risiko besar. Jika BUMN gagal bayar, beban dialihkan ke APBN. Transparansi minim membuat rakyat tidak pernah tahu seberapa besar utang yang sedang ditanggung. Lebih jauh, banyak kontrak menggunakan jaminan sumber daya alam, yang bisa membuat Indonesia kehilangan aset strategis jika gagal membayar.

Risiko yang ditimbulkan bukan sekadar angka di atas kertas. Jika dana APBN harus dialihkan untuk menalangi utang tersembunyi, maka anggaran pendidikan, kesehatan, dan subsidi sosial bisa terpangkas. Implikasinya langsung dirasakan rakyat kecil. Alih-alih menikmati manfaat pembangunan, mereka justru menanggung dampaknya. Beban fiskal tambahan bisa menekan daya beli dan memperparah kemiskinan.

Secara hukum, utang tersembunyi memang bukan  dikategorikan sebagai korupsi. Hidden debt dipandang sebagai bagian dari rekayasa keuangan (financial engineering), tapi sifatnya problematis karena cenderung dipakai untuk “menyembunyikan” kewajiban fiskal alih-alih untuk efisiensi.

Namun, minimnya transparansi, klausul kontrak yang berat sebelah, serta lemahnya pengawasan membuka ruang luas bagi praktik rente. Situasi ini membuat utang tersembunyi sangat rawan disusupi kepentingan, meski tidak secara langsung disebut korupsi. AidData juga memperingatkan bahwa fenomena ini bukan hanya soal beban fiskal, tetapi juga soal stabilitas politik. Tidak heran jika para pengamat menyebut utang tersembunyi sebagai “bom waktu” yang bisa mengguncang stabilitas fiskal negara-negara berkembang.

Solusi untuk Indonesia jelas: semua pinjaman BUMN harus dicatat dalam data resmi utang negara. Kontrak proyek strategis mesti dibuka agar bisa diaudit publik. Pemerintah perlu menyiapkan cadangan fiskal untuk skenario gagal bayar, dan pendanaan infrastruktur harus lebih beragam agar tidak bergantung pada satu kreditur saja.

Namun, yang lebih berbahaya dari hidden debt bukan hanya beban fiskalnya, melainkan dampak sosial-politiknya. Jika utang tersembunyi terus membengkak dan rakyat makin miskin karena anggaran sosial dipangkas, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan terkikis. Ketidakpuasan bisa meledak menjadi protes jalanan, sebagaimana yang belakangan mulai terlihat. Proyek yang seharusnya menjadi simbol kemajuan justru berpotensi berubah menjadi pemantik demo besar-besaran. Inilah risiko paling nyata: utang yang disembunyikan bukan saja menggerogoti kas negara, tapi juga bisa meruntuhkan legitimasi politik dan merusak kontrak sosial antara negara dan rakyatnya.

Pada akhirnya, utang yang tidak pernah dilihat rakyat tetap akan dibayar dengan uang rakyat—dan kali ini, dibayar dengan harga mahal berupa kemiskinan, keresahan sosial, dan hilangnya kepercayaan pada pemerintah.

(Dr. Yanuar, Pengamat Kebijakan Publik, Dosen Magister Manajemen Universitas BPD Semarang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *