Hikayat Rimba Hutan Raya
Hikayat Rimba Hutan Raya.(Meta AI)

Hikayat Rimba Hutan Raya

Catatan Sugayo Jawama
(Wartawan Hutan Jawa sejak 1986)

Ketika Tuhan berkehendak dalam renungan untuk merancang dan menerbitkan sosok manusia yang akan dibekali secuil sisipan kecerdasan buatan (Artifisial Intelijen) Nya, sekonyong-konyong muncul dua pendapat dari dalam kepingan Chips penyimpan AI yang sedang digenggamNya.


Azimat individu berupa program berisi software percikan Kecerdasan Buatan (AI) yang sudah dipersiapkan Nya itu serentak mencuit dalam dua nada secara bersama.

Yakni, satu nada bersuara ‘protes’ (menentang rencana Tuhan itu) karena berpikir tentang potensi bahaya kalau dengan menyandang bekal kecerdasan itu justru dapat mengacaukan suasana ketertiban tatanan jagat raya yang sudah berlangsung ini. “Manusia akan berbuat kerusakan di muka Bumi nantinya,” demikian kiranya bunyi cuitan nada protes dari AI dalam chips itu.



Sedangkan yang satunya lagi yaitu suara bernada pro (mendukung) apapun kehendak yang telah menjadi Ketetapan Sang Hyang Maha Pencipta, karena percaya pasti Tuhan yang maha berkuasa sangat mampu mengatasi setiap persoalan yang dapat menimpa maupun yang dapat ditimbulkan oleh siapa pun makhluk di semua antero jagat raya ini. “Sendika dawuh wahai Tuhan junjunganku, hamba siap melaksanakan segala petunjukMu,” demikian kiranya bunyi cuitan nada dukungan dari AI dalam kepingan chips yang sama itu.

**

Alhikayat, singkat cerita, Tuhan, sang maha Big Bos alam raya ini bermaksud untuk menggenapi urutan rangkaian benda ciptaanNya yang telah bergerak otomatis mengikuti alur keteraturan sistemik sesuai yang telah Dia programkan.. Oleh karenanya terbersitlah niatNya untuk mewujudkan sosok manusia.

Rupa keteraturan alamiah itu dapat disaksikan, dari mulai urutan penciptaan rongga langit yang salah satu isinya berupa bola planet Bumi (yang diliputi perlindungan zat udara) dengan permukaan daratan serta lautan (daratan yang terendam air).

Daratan menjadi ruang hidup beragam jenis tanaman serta hewan yang bernafas dengan menghirup udara. Lautan menjadi tempat hidup beragam jenis tanaman serta hewan yang bernafas dengan menghirup udara melalui air.

Semua ruang kehidupan itu dapat dikatakan dengan sebutan “Hutan” dan keseluruhan masa perjalanan putaran kehidupan dapat pula dibilang dengan sebutan putaran “Tahun”. Sedangkan kecenderungan tindakan yang berkemungkinan mengakibatkan rusaknya tatanan Hutan dalam derap perjalanan Tahun, itu dapat dikatakan sebagai jelmaan pikiran Hantu. Yaitu keadaan pikiran yang meragukan adanya ketercukupan pemberian dari Tuhan.

Bersitan pikiran hantu inilah yang kelak dapat menerbitkan sifat serakah karena selalu merasa tidak cukup.

***
Syahdan, pada sepanjang rentang putaran perjalanan kehidupan di Bumi, sedari awal tanggal gunting pita peresmian pembukaan launchingnya, keseluruhan tatatan sistemik kehidupan hasil karya rancangan Sang Maha Agung ini terbukti dapat berlangsung dengan sempurna. Keseluruhan komponen kehidupan ini kemudian saling supporting secara sistematis dengan sendirinya.

Air laut dengan bantuan angin secara berkala membasahi daratan sehingga seluruh organisme tanaman dapat tersuplai tuntutan hayatinya. Tuntutan kebutuhan nutrisi beragam jenis hewan pun selalu mendapatkan suplai wajar, berupa makanan bernutrisi gratis -MBG– hasil produksi dari beragam jenis tanaman di sekitar ruang kehidupan yang menjadi habitatnya.

Ketika salah satu jenis tanaman keadaan populasinya telah melampaui daya dukung ruang pertumbuhannya maka dengan sendirinya pula akan bermunculan jenis tanaman lain sebagai predatornya. Pun demikian keadaannya ketika salah satu jenis hewan mencapai keadaan kelebihan populasi sehingga dapat melampaui batas kemampuan daya dukung ruang hidupnya. Akan muncul jenis hewan lain yang secara naluriah (instingtif) akan bekerja selaku sang predatornya.

Demikianlah, selintas gambaran tentang berlangsungnya ketertiban sistemik tata kehidupan di jagat raya ini. Tuhan sang pencipta pun menyaksikan dengan takzim seluruh Mahakarya hasil rancanganNya sendiri ini. Dalam kesendirian, Ia menikmati kesempurnaan pekerjaan hasil rancangan ini dengan penuh rasa syukurNya.

Oleh sebab itu, kemudian sang Zat Maha Pencipta ini pun berpikir hendak berbagi pengalaman kesadaran tentang keadaan ke-Maha Besar-an, seperti yang telah dirasakannya itu kepada para makhluk ciptaanNya juga.

Tuhan pun menyiapkan predikat “Gelar” sebagai “Manusia kepada Makhluk hasil kreasinya, yang mampu mendengarkan dan dapat menyampaikan ucapan terimakasih (syukur) Tuhan, melalui kepingan percikan kesadaran buatan Nya, yang telah direncanakan untuk disisipkan kepada makhluk yang terpilih.

Untuk penghuni planet Bumi ini, kemudian Tuhan memilih salah satu jenis hewan melata terlemah yang berjalan di muka Bumi dengan dua kaki sebagai alat tumpuan, karena bisa jadi di masa sebelumnya pernah Ia berlakukan kepada makhluk terkuat namun ternyata gagal berfungsi. Bahkan sempat mengakibatkan kerusakan parah di seantero daratan Bumi ini. Mungkin itu terjadi di era jaman malang melintangnya monster raksasa Tirano Saurus rex.

Pun barangkali pilihan tersebut karena Tuhan bermaksud menghibur cuitan nada protes yang mencuat tatkala sebelumnya Tuhan menyiarkan niat berbagi sandangan Gelar Manusia itu. “Ini, lho, kupilih sosok terlemah guna redakan kekuatiranmu tentang adanya potensi sebagai makhuk perusak itu,” kiranya demikian ungkapan Tuhan kepada yang protes itu.

Seraya kemudian teriring gumaman lirih dari cuitan yang pro, “ah, aku percaya akan keniscayaan kemampuan Mu untuk me-reset ulang (restart) bilamana kelak ternyata terjadi system failure atas rancangan besar ini. Engkau tinggal men-delet-nya saja, bukan? Oke, lanjutkan saja Bos, kuh!.”

****
Singkat cerita, ratusan tahun atau bisa jadi ribuan atau bahkan mungkin lebih banyak waktu lagi, kepingan “chipset” berisi percikan Kesadaran Tuhan yang berhasil tertanamkan dalam diri sosok lemah yang terpilih untuk jadi manusia ini pun berfungsi normal.

Kehadiran kesadaran baru sebagai penyempurna kemampuan intuisi dalam bertahan hidup secara naluriah (insting primitif) dalam tubuh hewan terlemah yang terpilih ini tidak serta merta membuat perubahan pola kehidupan keseharian mereka.

Gaya hidup keseharian mereka tidak berubah. Masih tetap seperti lazimnya entitas binatang yang hidup alamiah dalam tatanan habitat huniannya masing-masing. Hanya saja, dorongan perilakunya telah melampaui dari sekadar menuruti naluri purbanya belaka (insting bertahan hidup). Pada malam hari, mereka tinggal dalam perlindungan gua-gua (cave) alam dan di siang hari beraktivitas di hamparan ruang terbuka di sela-sela pepohonan.

Perubahan mencolok yang dapat tampak mata adalah mencuatnya tradisi baru di malam hari dan timbulnya pemahaman baru dalam motivasi kegiatan keseharian mendapatkan pemenuhan kebutuhan nutrisi tubuhnya pada siang hari.

Pada malam hari, kini ada waktu yang sengaja mereka sediakan guna merenung sembari menatap kerlipan cahaya bintang gemintang sebagai ungkapan rasa syukur dan pemujaan kepada Zat sang Pencipta kebesaran jagat raya.

Pada siang hari, oleh dorongan kesadaran baru ini pula, timbul perasaan terpanggil untuk berperan serta dalam tugas pekerjaan predator, sehingga mereka hanya akan memenuhi kebutuhan nutrisi tubuhnya dari tempat-tempat yang sedang kelebihan produksi saja.

Ketika sedang ingin makan biji-bijian maupun umbi-umbian dan bebuahan, maka mereka datangi area tetumbuhan yang sedang masa panen. Pun demikian halnya tatkala mereka sedang perlu asupan protein, mereka datangi habitat kawanan binatang lain yang sedang over populasi.

Demikianlah, sampai berbilang tahun berlalu, keselarasan dengan keseimbangan alamiah itu pun dapat senantiasa terjaga dalam situasi nan kondusif secara berkelanjutan.

*****
Tahun demi tahun pun terus berputar mengikuti siklus peredaran planet Bumi yang selalu dalam jarak jangkauan terangnya sorotan sinaran sang Surya.. Bangsa manusia pun beranak pinak sehingga populasinya pun kian berkembang biak berjumlah semakin banyak. Tuntutan konsumsi nutrisi tubuh akan bahan pangan dengan sendirinya ikut meningkat pula jumlah kebutuhannya.

Dalam tahapan situasi tersebut itulah terjadi kegalauan pikiran dalam entitas sosok makhluk lemah yang sempat menerima gelar predikat Manusia.

Sebagian mereka yang tetap bersedia menyandang gelar Manusia pun lantas memilih untuk berpuasa dengan mengurangi frekuensi peranan selaku predator. Seraya mulai merintis kegiatan pertanian tanaman dan peternakan hewan guna mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh secara ala kadarnya.

Pun kian banyak menyediakan waktu perenungan pikiran sembari menatap bintang gemintang di langit sebagai ungkapan kekaguman akan keteraturan putaran sistemik alam raya dengan pemujaan kepada Sang PenciptaNya.

Sedangkan sebagian besar lainnya lagi justru terasuki Pikran Hantu yang selalu merasa kurang cukup. Walhasil, dari predikat Manusia yang semula disandangnya menjadi turun derajat dengan sebutan ‘orang biasa” saja yang selalu merasa kurang puas dalam pemenuhan tuntutan hasrat tubuh fisiknya belaka.

Orang-orang semacam ini selanjutnya terus memperluas lahan pertaniannya dengan membabat habis segala jenis tanaman yang tidak diinginkannya dan mengambil benih- benih yang dipilihnya saja guna diusahakan perbanyakan produksinya.

Kemudian Tuhan pun terpaksa menerbitkan aturan tambahan tentang adanya kawasan hutan tertentu atau pepohonan tertentu sebagai barang keramat agar supaya jangan diusik apalagi sampai ditiadakan.

Orang-orang semacam ini kemudian terus memperluas lahan peternakannya dengan membunuh semua jenis hewan kecuali yang diinginkannya saja. Untuk dikandangkan agar dapat berproduksi sebanyak mungkin guna meraih keuntungan sebesar mungkin bagi pribadi pemilik tempat usahanya.

Kemudian Tuhan pun terpaksa mengedarkan aturan tambahan tentang adanya jenis-jenis hewan tertentu yang diharamkan (dianggap suci) agar jangan sampai habis dikonsumsi.

Bahkan terhadap beragam jenis bebatuan, yang semula dipahami Manusia sebagai simbol keabadian Sang Maha Pencipta, sehingga sering digunakan sebagai bahan penyusunan bangunan altar pengaguman dan pemujaan kepadaNya, Sang Maha Pencipta alam raya, oleh manusia yang telah turun derajat sebagai orang-orang biasa pun dipandang sekadar media komunikasi transaksional kebutuhan fisik belaka.

Kuil-kuil, candi-candi, monumen-monumen peribadatan berbahan bebatuan, pun dibangun dalam sebaran jumlah nan fantastis. Laiknya minimarket jaman sekarang yang nyaris ada di setiap sudut keramaian. Melampaui fungsi hakikinya, karena oleh orang kebanyakan sekadar tempat transaksional untuk beroleh berkah dan mohon ampunan kepada Tuhan.

Dampak pengambilan bebatuan berskala banyak betulan itu pun berdampak porak porandanya strukur pondasi daratan dengan akibat lanjutannya menjadikan kaitan lempeng benua dapat lebih sering tergeser.

Oleh karena itu Tuhan pun sempat mengeluarkan aturan tambahan berupa peringatan keras, agar jangan menjadikan batu atau pun benda keras sejenisnya (berhala) sebagai wujud berhala sesembahan. ##

(Semarang, 28/12/2025)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *