Pengemudi Truk Harus Menjadi Perhatian Pemerintah
Oleh: Djoko Setijowarno
Isu Over Dimension Over Loading (ODOL) selama ini sering dipahami sebatas persoalan teknis kendaraan dan pelanggaran aturan lalu lintas. Pendekatan semacam itu membuat kebijakan penanganan ODOL kerap berujung pada razia, penindakan, dan sanksi administratif. Padahal, di balik praktik ODOL terdapat persoalan yang jauh lebih mendasar, yakni keselamatan jiwa dan kesejahteraan pengemudi truk sebagai aktor utama dalam sistem logistik nasional.

Data menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan. Sebanyak 60 persen pengemudi truk bermuatan ODOL diketahui pernah mengalami kecelakaan lalu lintas, sementara 75 persen pengemudi memiliki penghasilan bulanan di bawah Rp5 juta. Fakta ini memperlihatkan bahwa persoalan ODOL tidak bisa dilepaskan dari tekanan ekonomi yang dialami pengemudi. Dalam kondisi pendapatan rendah, risiko keselamatan sering kali menjadi harga yang harus dibayar.
Pemerintah sejatinya telah menyadari kompleksitas persoalan ini. Melalui Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Kewilayahan, berbagai pemangku kepentingan telah dikumpulkan untuk membahas pembenahan angkutan barang ODOL. Bahkan, dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Penguatan Logistik Nasional, tercantum sembilan Rencana Aksi Nasional dengan 47 keluaran (output) yang mencakup integrasi sistem elektronik angkutan barang, penegakan hukum, penataan kelas jalan, penguatan multimoda, insentif dan disinsentif usaha, hingga perlindungan ketenagakerjaan pengemudi. Namun, hingga kini, kebijakan tersebut lebih banyak berhenti di tataran konsep dan belum memberikan dampak nyata di lapangan.


Hasil Survei Persepsi Pengemudi Angkutan Barang yang dilakukan Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan pada Oktober 2025 semakin menegaskan persoalan struktural tersebut. Mayoritas pengemudi bekerja dengan sistem penggajian borongan (46 persen), sistem yang mendorong pengemudi mengangkut muatan sebanyak mungkin demi mengejar pendapatan. Rentang penghasilan paling umum berada pada kisaran Rp3–4 juta per bulan, jauh dari layak jika dibandingkan dengan risiko kerja dan jam kerja yang panjang.
Kondisi ini menjelaskan mengapa 61 persen pengemudi mengemudikan kendaraan bermuatan ODOL. Secara ekonomi, praktik ODOL memberikan insentif yang signifikan. Rata-rata pengemudi truk ODOL memperoleh Rp4,32 juta per bulan, sementara pengemudi Non-ODOL hanya sekitar Rp2,98 juta. Selisih pendapatan lebih dari Rp1,3 juta menjadi dorongan kuat bagi pengemudi untuk menerima risiko berbahaya tersebut, meskipun konsekuensinya bisa berujung pada kecelakaan atau bahkan kehilangan nyawa.
Dari kelompok pengemudi ODOL yang mengalami kecelakaan, 52 persen menyebut rem blong sebagai penyebab utama. Hal ini menjadi bukti bahwa kendaraan dipaksa bekerja jauh melampaui batas keselamatan. Dalam situasi seperti ini, penindakan semata terhadap pengemudi jelas tidak adil. Negara seharusnya hadir untuk memperbaiki ekosistem kerja yang membuat pengemudi terjebak dalam pilihan-pilihan berisiko.
Karena itu, penanganan ODOL harus menempatkan kualitas pengemudi dan kondisi kerja sebagai fokus utama. Pertama, pemerintah perlu mewajibkan sertifikasi dan pelatihan kompetensi khusus bagi pengemudi truk, terutama angkutan berat. Materi pelatihan tidak hanya soal teknis mengemudi, tetapi juga manajemen muatan, perawatan kendaraan, dan keselamatan berkendara defensif. Kedua, pengawasan jam kerja dan waktu istirahat harus ditegakkan secara serius. Kelelahan adalah salah satu faktor utama kecelakaan, dan perusahaan angkutan harus bertanggung jawab menyediakan fasilitas istirahat yang memadai. Ketiga, diperlukan kampanye nasional bahaya ODOL yang menyasar pengemudi, pengusaha angkutan, serta pemilik barang agar kesadaran keselamatan menjadi tanggung jawab bersama.
Upaya peningkatan kesejahteraan pengemudi juga menjadi kunci. Asosiasi Pengemudi Logistik Nusantara mengusulkan enam langkah, tiga di antaranya dinilai paling realistis untuk segera didorong, yakni perpanjangan SIM B1 dan B2 Umum tanpa PNBP, penyediaan rumah subsidi bagi pengemudi truk, serta jaminan akses pendidikan bagi anak-anak pengemudi melalui Program Indonesia Pintar dan KIP Kuliah. Usulan ini bukan bentuk pemanjaan, melainkan investasi negara untuk memutus mata rantai kemiskinan di sektor logistik.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah ketiadaan terminal angkutan barang di sepanjang jalan nasional. Hingga kini, yang tersedia baru sebatas pangkalan atau parkir truk milik pemerintah daerah dengan fungsi terbatas. Akibatnya, pengemudi terpaksa berhenti dan memarkir kendaraan di bahu jalan atau area rumah makan, yang jelas membahayakan lalu lintas. Kementerian Perhubungan perlu mengambil peran utama dalam membangun terminal angkutan barang nasional. Sebagai solusi jangka pendek, terminal penumpang Tipe A yang kini relatif sepi dapat dialihfungsikan menjadi fasilitas istirahat pengemudi angkutan barang.
Pada akhirnya, pengemudi truk adalah tulang punggung logistik nasional. Tanpa peningkatan kualitas sumber daya manusia pengemudi—yang mencakup kompetensi, kesejahteraan, dan profesionalisme—kebijakan Zero ODOL hanya akan menjadi slogan. Menjadikan pengemudi sebagai pusat kebijakan bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga prasyarat mutlak untuk menekan kecelakaan lalu lintas, mengakhiri praktik ODOL, dan meningkatkan efisiensi logistik nasional.
(Djoko Setijowarno adalah Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata)

