Industri Penjaminan di Persimpangan: Implikasi POJK 11/2025 bagi UMKM Indonesia
Oleh : Dr. Yanuar
Setiap bangsa memiliki tulang punggung ekonomi yang menopang daya hidupnya. Di Indonesia, tulang punggung itu bernama UMKM—sekitar 65,5 juta unit usaha yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, hadir di setiap sudut pasar, gang kecil, hingga pusat kota. Mereka bukan hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga menjaga roda ekonomi tetap berputar bahkan ketika krisis melanda. Dalam setiap gelombang resesi, UMKM selalu menjadi jangkar yang menjaga kapal besar bernama Indonesia tidak karam. Namun, jangkar ini tidak mungkin bekerja sendiri. Mereka butuh jaring pengaman berupa akses permodalan, dan di situlah peran lembaga penjaminan kredit menjadi krusial: memastikan pelaku usaha kecil tetap bisa memperoleh pembiayaan dari perbankan meski dengan segala keterbatasan jaminan yang mereka miliki.
Ketika mesin ekonomi kerakyatan itu sedang bekerja keras, tiba-tiba muncul sebuah aturan baru yang mengubah seluruh cara kerja ekosistemnya: Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2025. Regulasi ini secara resmi digadang-gadang sebagai instrumen untuk memperkuat fondasi industri penjaminan kredit. Namun, bagi banyak pelaku usaha, aturan tersebut terbaca sebagai pedang bermata dua. Bagi sebagian, ia dianggap sebagai langkah maju menuju tata kelola yang lebih sehat. Bagi sebagian lain, justru seperti belenggu baru yang mengekang ruang gerak bisnis. Bagaimana tidak? Aturan ini membawa sederet kewajiban ketat yang bukan hanya membatasi fleksibilitas perusahaan penjaminan, tetapi juga berpotensi menghambat aliran kredit yang selama ini menjadi nyawa bagi UMKM. Tidak heran jika banyak pihak menjulukinya sebagai “regulasi killer”—aturan yang bisa mengakhiri era “bisnis mudah” penjaminan, dan membawa konsekuensi langsung pada kelangsungan jutaan usaha kecil yang tengah berjuang di tengah tekanan ekonomi.
Implikasinya tidak hanya menyasar UMKM, tetapi juga pemerintah daerah. Banyak pemprov di Indonesia memiliki perusahaan penjaminan daerah (Jamkrida) yang selama ini menjadi salah satu motor PAD (Pendapatan Asli Daerah). Setiap tahun, pemprov menggantungkan harapan pada setoran dividen Jamkrida untuk menopang keuangan daerah, membiayai pembangunan, dan menjaga belanja publik. Namun dengan adanya aturan baru yang mewajibkan cadangan klaim lebih besar, membatasi biaya akuisisi, dan mempersempit margin, potensi dividen yang bisa disetorkan ke kas daerah akan ikut terkoreksi. Mau tidak mau, pemprov harus melakukan kajian ulang secara serius terhadap proyeksi dividen dari Jamkrida yang dimilikinya, sebab target PAD yang selama ini digadang-gadang bisa jadi tidak lagi realistis. Artinya, bukan hanya UMKM yang berisiko kehilangan akses modal, tetapi juga pemerintah Provinsi yang akan kehilangan salah satu sumber pendapatan andalannya.
Hubungan antara regulasi ini dengan UMKM sangat jelas. Perusahaan penjaminan kredit hidup dari imbal jasa penjaminan (IJP) yang dibayarkan oleh bank atau debitur UMKM. Dengan POJK 11/2025, sebagian besar IJP wajib disisihkan menjadi cadangan klaim, bukan diakui langsung sebagai laba. Akibatnya, ruang keuangan perusahaan penjaminan menyempit, sehingga mereka harus lebih selektif dalam memilih debitur yang dijamin. Semakin ketat syarat penjaminan, semakin sedikit UMKM yang bisa masuk. Di sisi lain, bank juga semakin berhati-hati: karena biaya akuisisi dibatasi dan risiko tidak lagi sepenuhnya bisa dialihkan ke penjamin, bank cenderung hanya menyalurkan kredit ke debitur yang dianggap benar-benar aman. Maka, dua pintu yang biasanya bisa dilalui UMKM untuk mendapat modal—bank dan lembaga penjaminan—menjadi sama-sama menyempit. Dampaknya, UMKM berada di posisi paling rawan, menjadi korban tidak langsung dari kebijakan ini.
Bayangkan jika hanya sebagian kecil dari 65 juta UMKM kesulitan mendapatkan kredit. Efek domino akan langsung terasa: usaha-usaha kecil gulung tikar, tenaga kerja kehilangan pekerjaan, konsumsi rumah tangga melemah, ekonomi daerah melambat, bahkan PAD ikut tertekan karena dividen Jamkrida menyusut drastis. Pertanyaannya, siapkah OJK menanggung beban sosial-ekonomi sebesar itu?
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa aturan ini juga menyimpan sisi terang. Jika diimplementasikan dengan baik, POJK 11/2025 dapat menjadi titik balik industri penjaminan untuk naik kelas. Cadangan klaim yang lebih besar akan memperkuat ketahanan finansial perusahaan, sehingga tidak mudah goyah saat rasio klaim melonjak. Kewajiban re-guarantee bisa membangun ekosistem berbagi risiko yang lebih sehat, di mana beban tidak hanya ditanggung satu lembaga, tetapi terdistribusi secara proporsional. Pembatasan biaya akuisisi pun, jika dipahami sebagai upaya menutup celah persaingan tidak sehat, akan memaksa perusahaan lebih fokus pada inovasi produk, digitalisasi layanan, dan efisiensi operasional.
Inilah momentum bagi perusahaan penjaminan untuk membuktikan diri sebagai institusi yang bukan hanya mencari keuntungan jangka pendek, tetapi juga mampu membangun fondasi jangka panjang. Transformasi digital, tata kelola yang transparan, dan manajemen risiko yang disiplin akan menjadi kunci untuk bertahan. Hanya mereka yang siap beradaptasi yang akan menjadikan aturan ini bukan sebagai beban, melainkan sebagai batu loncatan untuk melompat lebih tinggi.
Pada akhirnya, regulasi POJK 11/2025 memang hadir dengan visi besar: membangun industri penjaminan yang lebih sehat, menekan moral hazard, dan menciptakan sistem yang berdaya tahan menghadapi guncangan. Dari sudut pandang regulator, aturan ini adalah upaya menyelamatkan industri dari risiko laten yang bisa meledak sewaktu-waktu. Namun, realitas di lapangan tidak sesederhana membalikan tangan atau hitungan pasal-pasal hukum. Lembaga penjaminan, terutama yang beroperasi di daerah dengan modal terbatas, terpaksa harus mengorbankan fleksibilitas bisnis demi mematuhi cadangan klaim dan kewajiban re-guarantee. Bank pun semakin berhitung ketat dalam menyalurkan kredit, karena ruang berbagi risiko makin sempit. Akibatnya, UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional, justru bisa menjadi pihak pertama yang merasakan dampak paling keras dari aturan ini. Dengan jumlah 65,5 juta unit usaha dan penyerapan tenaga kerja yang luar biasa , kegagalan melindungi UMKM sama artinya dengan mempertaruhkan stabilitas sosial-ekonomi bangsa termasuk stabilitas fiskal daerah yang ikut ditopang oleh dividen Jamkrida.
Maka jelas, dilema ini bukan sekadar persoalan teknis tata kelola, melainkan pertaruhan besar antara stabilitas jangka panjang dan keberlangsungan hidup jutaan pelaku usaha kecil dalam jangka pendek. Regulasi yang seharusnya memberi kepastian, bisa berubah menjadi momok jika implementasinya kaku tanpa ruang adaptasi. Sebaliknya, jika dilaksanakan dengan cerdas yaitu memberi masa transisi, mendukung transformasi digital, dan memastikan insentif yang seimbang maka POJK 11/2025 bisa menjadi tonggak sejarah lahirnya industri penjaminan yang sehat dan tangguh. Dan semoga saja aturan ini mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan industri, kebutuhan UMKM, dan keberlanjutan fiskal daerah . Dengan demikian regeluasi ini dikenang sebagai pijakan emas yang membawa industri penjaminan menuju era baru yang lebih kuat, lebih sehat, dan lebih siap menjadi mitra sejati UMKM sekaligus penopang ekonomi daerah.Semoga saja…
Dr. Yanuar: Pengamat ekonomi dan sosial , Dosen Magister Manajemen FEB Universitas BPD Semarang.