Minimnya Data Lembaga Kesenian di Indonesia

Oleh Gunoto Saparie

Di Indonesia, sebuah peta kadang hadir hanya sebagai bayangan. Kita mengenal jalan, desa, bahkan gunung dalam detail yang berbeda, kadang berlebih, kadang samar. Tetapi dalam kesenian, peta itu hampir tidak ada. Lembaga-lembaga kesenian di republik ini hidup, tumbuh, lalu hilang tanpa pernah tercatat.

Dua puluh tahun lalu Yayasan Kelola di Surakarta mencoba menulis sebagian sejarah itu. Mereka menyusun direktori lembaga seni: siapa, di mana, dan bergerak di bidang apa. Ia hadir di rak buku, ringkas, tetapi sekaligus rapuh. Sebab daftar itu berhenti di masanya, tak pernah diperbarui. Nama-nama yang kini mungkin sudah bubar masih tercatat. Nama-nama yang lahir setelahnya tidak pernah masuk.

Barangkali ini gejala kita: sesuatu yang dimulai dari masyarakat sipil kerap berakhir di sana juga. Negara, dengan segala perangkatnya, jarang menindaklanjuti. Padahal sebuah direktori bukan sekadar daftar alamat. Ia adalah infrastruktur pengetahuan. Tanpanya, kebijakan kebudayaan akan selalu mengambang. Bagaimana pemerintah bisa berbicara tentang “pemajuan kebudayaan” jika bahkan tak tahu siapa saja yang menjadi pelaku?

Bayangkan: sebuah sanggar tari di pelosok Kalimantan, sebuah kelompok teater di kampung nelayan Sulawesi, sebuah komunitas musik tradisi di Madura. Mereka ada, mereka bekerja, tetapi secara administratif nyaris tak pernah dianggap ada. Tanpa pendataan, mereka berada di ruang gelap, tak terjangkau oleh program, tak terhitung dalam statistik, tak tercatat dalam sejarah.

Kesenian, seperti juga manusia, butuh keberadaan yang diakui. Dan pengakuan itu dimulai dengan pendataan. Ia adalah cara sederhana untuk berkata: kami tahu engkau ada. Negara seharusnya memulai dari situ. Sebab absen dari data sama dengan absen dari kebijakan.

Kita sering mengira peta itu hanya urusan garis dan warna. Di kebudayaan, peta adalah urusan pengakuan. Yang tak dipetakan, lama-lama tak ada. Di Indonesia, lembaga-lembaga kesenian berjalan seperti arus bawah tanah: terdengar gemericiknya, tak terlihat alirannya.

Kita ingat, pada awal 2000-an, Yayasan Kelola menyusun sebuah direktori. Nama-nama, alamat, medium kerja. Sebuah upaya telaten menakik batu: memberi jejak pada yang mudah lenyap. Tapi daftar adalah organisme yang gampang menua. Ia hidup hanya sejauh pembaruan. Tanpa negara, ia berhenti di rak.

Sementara itu ekosistem tumbuh. Banyak yang lahir setelah buku itu terbit—karena zaman berubah, kota bertambah, internet membuka pintu. Di Semarang, Kolektif Hysteria (sekitar 2004) muncul sebagai ruang jelajah seni-kota, menghubungkan mural, arsip, hingga advokasi ruang publik. Ada Semarang Contemporary Art Gallery (sekitar 2011) yang mempertemukan seniman lokal-nasional dalam ritme pameran reguler. Komunitas kecil di kampung-kampung, kelompok teater remaja, forum pembaca puisi, tak pernah tercatat, kecuali di ingatan para tetangga.

Di Yogyakarta, daftar itu makin cepat beranak. Papermoon Puppet Theatre (±2006) memulai teater boneka kontemporer yang berkeliling dunia; Survive! Garage (±2009) menjadi ruang lintas mural, musik, dan wacana jalanan; Studio Batu (±2011) merajut produksi film-seni; Lifepatch (±2012) menggarap seni-sains dan pendidikan warga. Banyak yang hampir pasti tak masuk direktori cetak awal 2000-an, bukan karena terabaikan, melainkan karena mereka memang lahir sesudahnya. Tetapi, apakah negara pernah datang kembali, mengeja ulang lanskap yang berubah ini?

Kebijakan tanpa data adalah peta buta. Kita bicara “pemajuan kebudayaan”, “ekonomi kreatif”, “pemulihan pascapandemi”, dengan siapa? Di manakah mereka? Berapakah kapasitas ruang, frekuensi kegiatan, model pendanaan, jenis kerja lintasdisiplin? Tanpa jawaban, program publik berubah menjadi janji yang melayang. Yang tercatat mendapat akses; yang tak tercatat menua dalam senyap.

Pendataan bukan sekadar hitung-hitungan. Ia etika. Cara sederhana negara mengatakan: kami tahu engkau ada. Karena itu, negara semestinya menindaklanjuti inisiatif Yayasan Kelola, bukan hanya menyalin, melainkan membangun basis data hidup: berbasis self-registration yang terverifikasi komunitas; terbuka untuk dipakai peneliti, pewarta, dan perencana kota; diperbarui berkala, dengan indikator sederhana: bentuk lembaga, medium, kapasitas, jadwal, jejaring, keberlanjutan; terhubung ke skema dukungan: ruang, dana kecil, pelatihan manajerial, perlindungan hukum.

Sebab lembaga seni bukan gedung; ia ritme dan relasi. Hari ini sebuah ruang tinggal di garasi, besok di balai desa, kemarin di lapangan bulutangkis, lusa di toko kosong. Mereka berpindah mengikuti biaya sewa, gelombang wisata, atau sekadar hujan yang merembes. Direktori yang baik harus lentur: bisa menerima alamat yang bergerak, nama yang berganti, format yang berubah.

Kita perlu juga mengakui yang “di pinggir”: sanggar tari di pesisir Kendal, kelompok musik gerejog di Bantul, klub film kampus di Tembalang, komunitas arsip foto kampung di Semarang Utara. Mereka kecil, tetapi justru di situlah kebudayaan bernapas. Pendataan yang komprehensif menjahit yang kecil menjadi tampak, yang terpencar menjadi jaringan. Di situ kebijakan menemukan arah, anggaran menemukan alasan.

Mungkin yang kita cari bukan buku, melainkan infrastruktur ingatan. Sebuah sistem yang tak menganggap seni sebagai dekorasi, melainkan sebagai pengetahuan yang harus diurus. Sebab republik bukan hanya soal kilang dan pelabuhan; ia juga tentang panggung sementara di ruang tamu, layar kain yang diregang di lapangan voli, dan cat semprot di dinding gang.

Yang belum dipetakan bukan berarti tak ada. Namun, bila terus tak dipetakan, pada suatu hari ia sungguh-sungguh hilang. Dan ketika itu terjadi, yang lenyap bukan hanya sebuah komunitas seni, melainkan sepotong cara kita mengingat diri.

Mungkin kita perlu membayangkan kembali buku direktori itu, tetapi dalam bentuk yang hidup. Bukan hanya daftar yang mati di rak, melainkan basis data yang diperbarui, terbuka, bisa diakses publik. Lembaga kesenian akan tampak sebagai sebuah ekosistem, dengan cabang, akar, dan riwayat. Dari situ, barulah kita bisa bicara tentang dukungan, distribusi dana, atau bahkan sekadar pengakuan.

Sebab, seperti kata seorang kawan, negara yang tak mencatat keseniannya sesungguhnya sedang melupakan dirinya sendiri.

(Gunoto Saparie adalah Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *