70 Tahun Penyair Gunoto Saparie
Oleh: Gunawan Trihantoro
Usia tujuh puluh bukan sekadar angka. Ia adalah simpul waktu tempat ingatan, kesabaran, luka, dan doa saling berpelukan. Pada Senin, 22 Desember 2025, di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang, usia itu diperingati bukan sebagai pesta kemenangan, melainkan sebagai perhentian sejenak untuk menengok jalan yang telah dilalui. Di situlah ulang tahun ke-70 Gunoto Saparie dirayakan: dengan kata-kata, dengan persaudaraan, dengan kesadaran bahwa hidup ini, meminjam bahasa para penyair, “adalah perjalanan pulang yang tak pernah sepenuhnya selesai.”

Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Tanah pantura dengan angin laut dan kesederhanaan desa barangkali telah lama mengajarinya tentang ketabahan dan kesetiaan. Sejak muda ia memilih jalan kata, jalan yang sunyi namun keras tuntutannya. Menjadi penyair di negeri ini bukan perkara popularitas, melainkan keteguhan untuk terus percaya bahwa bahasa bisa menjaga martabat manusia. Gunoto tampaknya memahami betul hal itu. Ia menulis bukan untuk memamerkan kepandaian, melainkan untuk merawat nurani.
Dalam dunia literasi, Gunoto Saparie bukan pejalan singkat. Ia melintasi genre dengan kesungguhan yang sama: puisi, cerita pendek, novel, esai, hingga cerita rakyat. Kumpulan puisi tunggalnya—dari Melancholia (1979), Solitaire (1981), Malam Pertama (1996), Penyair Kamar (2018), Mendung, Kabut, dan Lain-lain (2019), hingga Lirik (2020)—adalah jejak batin seorang penyair yang terus berdialog dengan dirinya sendiri, dengan Tuhan, dan dengan zaman. Judul-judul itu saja sudah berbicara tentang kesendirian, perenungan, dan keheningan yang penuh makna.


Puisi-puisi Gunoto tidak berisik. Ia tidak berteriak, tetapi berbisik panjang. Seperti orang yang tahu bahwa kebenaran sering kali lebih mudah diterima ketika disampaikan dengan rendah hati. Di situlah barangkali letak kekuatan puisinya: ia tidak memaksa pembaca untuk kagum, tetapi mengajak pembaca untuk ikut merenung. Ia tidak mengejar efek, melainkan makna. Dan makna itu tumbuh dari kesetiaan pada hidup sehari-hari.
Dalam esai, Gunoto Saparie menunjukkan wajah lain dari kecendekiawannya. Islam dalam Kesusastraan Indonesia (1986) dan Kiri Islam dan Lain-Lain (2023) memperlihatkan keberanian berpikir yang tetap berpijak pada tradisi. Ia tidak terjebak pada sikap menghakimi, tetapi memilih jalan dialog. Islam baginya bukan slogan, melainkan napas kebudayaan yang terus bergerak. Dalam esai-esainya, agama tidak diposisikan sebagai menara gading, melainkan sebagai cahaya yang harus menyentuh kenyataan sosial.
Sebagai novelis, Gunoto pun menapaki wilayah yang tidak mudah. Novel Selamat Siang, Kekasih yang dimuat bersambung pada 1978 hingga Bau (2019) menunjukkan konsistensinya dalam mengeksplorasi manusia dengan segala kerumitannya. Bau bahkan menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah, sebuah pengakuan bahwa karya yang jujur akan menemukan jalannya sendiri untuk diapresiasi.
Yang menarik, Gunoto Saparie tidak hanya menulis untuk dirinya sendiri. Ia menulis bersama, berjalan bersama, dan bekerja bersama. Antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan Putih! Putih! Putih! (1976) hingga Suara Sendawar Kendal (2015) menandai kesadarannya bahwa sastra adalah ruang perjumpaan. Puisinya yang masuk dalam Manuel D’Indonesien Volume I terbitan L’Asiatheque, Paris, 2012, adalah bukti bahwa suara dari Kendal dan Semarang pun bisa bergaung hingga Eropa, tanpa kehilangan akar lokalnya.
Di luar karya, Gunoto Saparie adalah penggerak. Sebagai Ketua Umum Satupena Jawa Tengah, Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah, Ketua Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah, hingga Ketua Umum Forum Kreator Era AI Jawa Tengah, ia memikul tanggung jawab yang tidak ringan. Ia hadir bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pelayan kesenian dan kebudayaan. Ia tahu bahwa sastra dan seni tidak bisa hidup sendiri; ia membutuhkan ekosistem, membutuhkan orang-orang yang mau bekerja tanpa pamrih.
Pengalaman hidupnya yang beragam—wartawan, guru, dosen, konsultan perpajakan, penyuluh agama madya—membuat pandangannya luas dan membumi. Ia tidak terkurung dalam menara akademik, tetapi turun ke lapangan kehidupan. Keaktifannya di ICMI Jawa Tengah, Majelis Kiai Santri Pancasila, dan Forum Komunikasi Keluarga Purnawirawan Baret Merah Jawa Tengah menunjukkan bahwa ia memilih berdialog dengan berbagai kalangan, tanpa kehilangan identitasnya sebagai sastrawan.
Peringatan ulang tahun ke-70 di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang itu pada hakikatnya adalah perayaan kesetiaan. Setia pada kata, setia pada nilai, setia pada Indonesia yang majemuk. Di usia tujuh puluh, Gunoto Saparie tidak berdiri di garis akhir, melainkan di persimpangan baru. Dunia berubah cepat, teknologi kecerdasan buatan hadir dengan segala janji dan ancamannya. Namun justru di situlah peran orang-orang seperti Gunoto menjadi penting: menjaga agar kemajuan tidak kehilangan kemanusiaan.
Barangkali itulah makna terdalam dari peringatan ini. Bukan sekadar mengenang karya, tetapi menimba teladan. Bahwa hidup yang panjang tidak otomatis bermakna, kecuali jika diisi dengan kesungguhan. Bahwa menjadi penyair bukan hanya soal menulis puisi, tetapi tentang cara memandang dunia dengan kasih dan tanggung jawab. Dan bahwa usia tujuh puluh bukan alasan untuk berhenti bertanya, melainkan momentum untuk semakin rendah hati dalam mencari kebenaran.
Dari Kendal hingga Semarang, dari buku ke buku, dari forum ke forum, Gunoto Saparie telah menorehkan jejak yang tidak selalu gemerlap, tetapi dalam dan jujur. Pada akhirnya, mungkin itulah doa terbaik bagi seorang penyair: semoga kata-katanya terus menjadi jalan pulang bagi banyak orang, bahkan ketika tubuhnya kelak memilih diam.
(Gunawan Trihantoro adalah Ketua Satupena Kabupaten Blora, Jawa Tengah)

