Apa Beda Kesepian dan Kesendirian?
Oleh: Nia Samsihono
Kesepian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V) dari Badan Bahasa, Kemendikbudristek diartikan sebagai keadaan sepi, kesunyian, kelengangan atau perasaan sunyi, tidak berteman dsb. Kata ‘kesepian’ dibentuk dari kata dasar ‘sepi’ dan “ke-an” menjadi “kesepian”.
Makna kesepian adalah suatu perasaan yang muncul ketika seseorang merasa terputus dari orang lain atau lingkungan sekitarnya, meskipun tidak selalu berkaitan dengan kondisi fisik berada sendirian. Kesepian dapat terjadi bahkan di tengah keramaian, saat perasaan terisolasi lebih bersumber dari batin. Perasaan ini bisa timbul karena tidak adanya hubungan emosional yang mendalam, ketidakmampuan untuk berbagi perasaan, atau rasa kurang dimengerti oleh orang lain.
Seseorang yang memiliki banyak teman bisa merasa lebih kesepian dibandingkan orang yang hanya memiliki satu atau dua teman dekat, jika hubungan yang dijalin tidak memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan. Dalam jangka panjang, kesepian bisa mempengaruhi kondisi psikologis seperti depresi, kecemasan, dan perasaan putus asa. Namun, memahami kesepian sebagai bagian dari pengalaman manusia dapat membantu kita untuk tidak merasa terjebak di dalamnya.
Kesendirian bermakna keadaan tersendiri atau terasing. Keadaan itu menyatakan bahwa seseorang berada dalam kondisi menyendiri. Ada perbedaan antara kesepian dan menyendiri. Menyendiri bisa menjadi pilihan sadar untuk menenangkan diri, mencari kedamaian, atau untuk introspeksi diri. Sebaliknya, kesepian adalah perasaan terisolasi atau terputus dari orang lain, yang sering kali tidak diinginkan.
Ada istilah yang menggambarkan seseorang menarik diri dari kehidupan sosial. Ia menyendiri secara ekstrem. Istilah itu dinamakan hikikomori, yaitu menggambarkan fenomena sosial di Jepang ketika seseorang mengurung diri di dalam kamar selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dalam keheningan, kamar yang sempit dan sepi telah menjadi teman yang setia bagi penderita hikikomori. Ini bukan hanya kesendirian fisik, tetapi juga kesendirian batin yang mendalam. Dunia luar terasa begitu jauh dan asing.
Mengapa ini bisa terjadi? Jepang merupakan negara dengan standar sosial yang sangat tinggi. Harapan masyarakat terhadap individu, terutama dalam hal pendidikan, karier, dan perilaku sosial, sangatlah besar. Banyak anak muda yang merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi ini sehingga merasa gagal dan memilih untuk mengisolasi diri.
Budaya Jepang sangat menjunjung tinggi konsep “haji” atau malu. Gagal memenuhi harapan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, sering kali dianggap sebagai sesuatu yang memalukan. Untuk menghindari rasa malu ini, beberapa individu memilih untuk menarik diri dari interaksi sosial sepenuhnya.
Banyak keluarga di Jepang yang cenderung memanjakan anak-anak mereka, terutama anak laki-laki. Orang tua kadang-kadang merasa ragu memaksa anak mereka yang mengalami hikikomori untuk keluar dan berinteraksi dengan dunia luar. Akibatnya, anak-anak ini merasa nyaman dan tidak memiliki dorongan untuk keluar dari isolasi mereka.
Sistem pendidikan di Jepang dikenal sangat kompetitif. Peraturan begitu ketat sejak keluar dari rumah. Anak sekolah dasar ( (小学校, Shōgakkō ) telah dibekali ajaran dari orang tua mereka agar tidak berbicara dengan orang asing, agar mematuhi aturan lalu lintas saat menyeberang jalan, agar menghormati orang yang kebih tua, dan lainnya. Banyak siswa mengalami tekanan besar untuk masuk ke sekolah dan universitas terbaik. Bagi mereka yang merasa gagal di bidang akademik akan merasa rendah diri dan menyebabkan isolasi diri (hikikomori). Bagi mereka yang mengalami hikikomori, sepi bukan sekadar keadaan tanpa kehadiran orang lain, melainkan ruang tanpa interaksi, tanpa suara-suara kehidupan sehari-hari. Mereka merasa terputus dari realitas sosial, baik oleh tekanan psikologis, ketakutan, maupun rasa tidak mampu menghadapi ekspektasi masyarakat.
Sepi yang sangat, bukan hanya kesendirian, tetapi isolasi yang begitu dalam, sehingga terkadang sulit bagi mereka untuk melihat jalan keluar.
Namun, di tengah keheningan yang membelenggu, harapan selalu ada. Dengan dukungan yang tepat dan pemahaman dari orang-orang di sekitar, hikikomori dapat menemukan cara untuk kembali terhubung dengan dunia, perlahan tapi pasti.
Kesendirian, menyendiri, dan hidup dalam kesepian adalah fenomena yang semakin terlihat di masyarakat modern, termasuk di Indonesia. Namun, di Indonesia fenomena hikikomori belum tampak meresahkan. Meskipun dikenal sebagai negara yang memiliki budaya kolektif dan komunal, nilai kebersamaan dan gotong royong sangat ditekankan, banyak orang di Indonesia yang merasakan kesepian dan memilih untuk menyendiri, baik karena keadaan sosial, ekonomi, atau keputusan pribadi.
Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang merasa kesepian di Indonesia. Salah satunya adalah urbanisasi yang cepat. Banyak orang yang pindah dari desa ke kota besar untuk bekerja, meninggalkan keluarga dan lingkungan sosial mereka. Kehidupan kota yang padat, meskipun ramai, sering kali menciptakan rasa keterasingan. Interaksi menjadi lebih transaksional dan jarang ada kesempatan untuk membentuk hubungan yang mendalam.
Faktor lain adalah perubahan nilai-nilai sosial. Generasi muda cenderung lebih mandiri dan lebih mengedepankan privasi dibandingkan generasi sebelumnya. Gaya hidup modern yang serba cepat dan individualistis juga berkontribusi pada meningkatnya isolasi sosial. Teknologi dan media sosial, meskipun menghubungkan orang secara digital, sering kali membuat hubungan menjadi dangkal dan kurang bermakna.
Pandemi COVID-19 juga memperparah masalah kesepian di Indonesia. Isolasi fisik yang berkepanjangan dan pembatasan interaksi sosial membuat banyak orang merasa terputus dari dunia luar. Bahkan setelah pembatasan dilonggarkan, banyak yang masih merasa kesulitan untuk kembali beradaptasi dengan kehidupan sosial.
Menyendiri dan hidup dalam kesepian adalah dua hal yang berbeda, namun keduanya sering kali tumpang tindih dalam kehidupan modern. Menyendiri bisa menjadi pilihan yang positif, selama dilakukan dengan sadar dan seimbang. Kesepian yang berkepanjangan perlu diatasi agar tidak berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik. Kesepian bisa menjadi pengingat bahwa setiap individu membutuhkan koneksi, empati, dan kehangatan dalam hubungan antarpribadi.
Pada akhirnya, kesepian adalah kesempatan untuk merefleksikan diri, memperkuat hubungan yang ada, dan mencari koneksi yang lebih bermakna dengan orang lain. Setiap individu memiliki cara unik untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan sosial dan kebutuhan pribadi.
(Nia Samsihono adalah Ketua Umum Satupena DKI Jakarta. Saat ini bertugas di Sendai, Jepang)

