|

Kesederhanaan Paus Fransiskus yang Patut Kita Teladani

Oleh Nia Samsihono

Paus Fransiskus, sebagai pemimpin Gereja Katolik, dikenal tidak hanya karena peran spiritualnya yang besar, tetapi juga karena gaya hidupnya yang sederhana. Kedatangannya ke Indonesia menampilkan diri yang sederhana.

Saya yang mengikuti penyambutan rakyat Indonesia kepada beliau dari televisi sempat terharu menatapi wajah dan gerak tubuhnya. Begitu sederhana dan tulus. Air mata ini menitik merindukan sosok seperti beliau. Sejak awal kepemimpinannya, ia telah menunjukkan bahwa meskipun memiliki posisi tertinggi dalam gereja, ia memilih untuk hidup sederhana dan merakyat, memberikan teladan yang luar biasa bagi umat manusia.

Paus Fransiskus pada tahun 2013 membuat keputusan yang mengejutkan banyak orang ketika dinobatkan menjadi Paus. Beliau memilih tinggal di wisma Santa Marta daripada tinggal di apartemen kepausan yang megah di Istana Apostolik Vatikan. Keputusan ini mencerminkan keinginan Paus untuk hidup lebih dekat dengan masyarakat dan tidak terisolasi dari kehidupan sehari-hari umatnya. Tindakan ini mengajarkan kita untuk tidak terikat pada kemewahan duniawi, melainkan lebih menghargai kebersamaan dan kesederhanaan dalam kehidupan.

Paus Fransiskus selalu menunjukkan sikap merakyat. Ia sering terlihat berinteraksi dengan umat tanpa batasan protokoler yang kaku. Dalam banyak kesempatan, Paus Fransiskus mendekati para peziarah, berbicara dengan mereka, mendengarkan cerita-cerita mereka, bahkan sering kali mencium kaki para tahanan dan kaum papa sebagai wujud kasih dan kerendahan hati. Ia mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang melayani, bukan dilayani. Sikap pengorbanan Paus Fransiskus terlihat jelas dalam caranya memimpin gereja. Ia rela meninggalkan kenyamanan dan kemewahan demi menunjukkan kepedulian yang tulus kepada umat manusia.

Paus Fransiskus selalu memberikan teladan bahwa kepemimpinan bukanlah tentang kekuasaan atau keistimewaan, tetapi tentang melayani dan berkorban demi kebaikan orang banyak. Kesederhanaan yang ditunjukkan oleh Paus Fransiskus bukan hanya sekadar sikap, tetapi juga merupakan panggilan moral bagi kita semua. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan dan makna hidup tidak terletak pada kekayaan materi atau status sosial, melainkan pada kerendahan hati, kepedulian terhadap sesama, dan komitmen untuk hidup dengan cinta kasih.

Jika melihat kesederhanaan hidup dari Paus Fransiskus ini, mengapa pemimpin Indonesia sulit hidup sederhana? Dalam berbagai kesempatan, tuntutan agar para pemimpin hidup sederhana sering terdengar dari masyarakat. Kehidupan sederhana dianggap sebagai cerminan kedekatan pemimpin dengan rakyat dan menunjukkan sikap rendah hati serta kepedulian terhadap kondisi bangsa. Namun, pada kenyataannya, tidak sedikit pemimpin Indonesia yang justru hidup dalam kemewahan. Fenomena ini menjadi pertanyaan banyak pihak: mengapa pemimpin Indonesia sulit hidup sederhana? Apakah karena terkungkung dengan budaya feodalisme yang ada masyarakat Indonesia? Feodalisme merupakan warisan yang masih sangat melekat di Indonesia.

Sejak zaman kerajaan, para pemimpin dianggap sebagai sosok yang berada di atas rakyat biasa, dengan hak-hak istimewa yang menyertai kedudukan mereka. Tradisi ini terus berkembang, di mana pemimpin sering kali diharapkan hidup dengan standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat biasa. Ketika seseorang menjadi pemimpin, seringkali mereka merasa “berhak” untuk hidup lebih mewah, mengikuti pola yang sudah ada sejak lama.

Hal ini tercermin dalam simbol-simbol kemewahan seperti rumah dinas besar, kendaraan mewah, hingga pengawalan ketat, yang semua dianggap sebagai bagian dari status dan kehormatan seorang pejabat.

Setiap pemimpin dikelilingi oleh lingkaran sosial yang memiliki pengaruh besar terhadap gaya hidupnya. Lingkaran ini biasanya terdiri atas pejabat pemerintah, pengusaha, serta individu berpengaruh lainnya. Di dalam lingkaran ini, standar kehidupan yang tinggi dan gaya hidup mewah kerap dianggap sebagai hal wajar dan bahkan diharapkan. Lingkaran sosial ini juga sering menimbulkan tekanan terselubung bagi pemimpin untuk mengikuti norma-norma kemewahan tersebut, baik dalam urusan pribadi maupun profesional. Akibatnya, sulit bagi seorang pemimpin untuk memisahkan dirinya dari lingkungan yang mendorong kehidupan mewah ini. Meski banyak masyarakat yang menginginkan pemimpin hidup sederhana, realitas di lapangan sering menunjukkan kontradiksi.

Dalam beberapa budaya lokal, pemimpin yang terlihat sederhana atau terlalu biasa justru dianggap tidak layak atau kurang berwibawa. Masyarakat kadang-kadang masih menilai seorang pemimpin dari tampilan luar, seperti kendaraan yang mereka gunakan atau pakaian yang dikenakan.

Fenomena ini menciptakan dilema bagi pemimpin: di satu sisi, ada harapan untuk hidup sederhana, namun di sisi lain ada ekspektasi untuk menunjukkan kekayaan sebagai simbol kesuksesan dan kekuatan. Untuk menampilkan simbol itu, para pejabat atau pemimpin di negara Indonesia melakukan tindakan korupsi. Banyak pemimpin terjerat dalam praktik ini. Ketika seorang pemimpin terlibat dalam korupsi, gaya hidup mewah sering kali menjadi cerminan dari hasil korupsi tersebut. Kekayaan yang diperoleh secara ilegal digunakan untuk membiayai kehidupan yang jauh dari kata sederhana. Hal ini menciptakan jarak yang semakin lebar antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Selain itu, akses ke kekuasaan memungkinkan pemimpin untuk memanfaatkan fasilitas negara dengan mudah, termasuk rumah dinas, kendaraan, perjalanan dinas, dan lainnya, yang semua itu memberikan kesan kemewahan.

Kepemimpinan yang baik biasanya ditandai dengan adanya keteladanan. Kita mengingat Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Iman Santosa yang dapat dijadikan teladan. Namun, di Indonesia, keteladanan dalam hidup sederhana sering kali tidak tercermin pada banyak pemimpin. Tanpa adanya contoh nyata dari para pemimpin, sulit bagi pemimpin baru nanti untuk merintis gaya hidup yang lebih sederhana. Apalagi, jika mereka melihat bahwa gaya hidup mewah menjadi simbol kesuksesan dan status yang harus dipertahankan. Para pemimpin yang sebelumnya hidup sederhana, sering kali tergoda oleh kemudahan untuk mendapatkan barang-barang mewah melalui fasilitas negara atau koneksi politik. Dengan gaya hidup modern yang semakin konsumtif, tuntutan untuk hidup sederhana menjadi semakin sulit dipenuhi, terutama bagi mereka yang memiliki akses ke kekuasaan dan kekayaan.

Ada banyak faktor yang menyebabkan pemimpin Indonesia sulit untuk hidup sederhana, mulai dari warisan budaya feodalisme, pengaruh lingkungan sosial, ekspektasi masyarakat yang kontradiktif, hingga praktik korupsi dan gaya hidup modern. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan keteladanan nyata dari para pemimpin yang berani menunjukkan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, reformasi yang serius dalam sistem politik dan birokrasi diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan jabatan yang sering kali menjadi pintu masuk bagi gaya hidup mewah di kalangan pejabat.

Namun, pada akhirnya, upaya untuk mempromosikan hidup sederhana harus dimulai dari perubahan mindset, baik di kalangan pemimpin maupun masyarakat, agar kemewahan tidak lagi menjadi simbol kekuasaan yang diidamkan. Lihatlah hidup dan kehidupan Paus Fransiskus. Teladan yang benar-benar nyata.

(Nia Samsihono adalah Ketua Umum Satupena DKI Jakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *