Gunoto Saparie
Gunoto Saparie, Ketum Dewan Kesenian Jawa Tengah.(Dok BahteraJateng/GS)

PPKD sebagai Basis RPJMD dan APBD

Oleh: Gunoto Saparie

Dalam diskursus anggaran pembangunan daerah, kebudayaan kerap hadir sebagai topik yang disebut dengan penuh hormat, namun jarang benar-benar diprioritaskan. Ia dipuji sebagai identitas dan warisan, tetapi dalam praktik kebijakan sering ditempatkan di pinggiran. Infrastruktur, investasi, dan pertumbuhan ekonomi dengan indikator kuantitatif yang mudah diukur masih menjadi primadona. Kebudayaan dianggap penting secara moral, tetapi tidak mendesak secara politik.


Padahal, kehidupan daerah di Indonesia tidak hanya ditopang oleh jalan raya, gedung, dan angka statistik. Ia tumbuh dari bahasa, tradisi, kesenian, pengetahuan lokal, serta cara hidup yang diwariskan lintas generasi. Kebudayaan adalah fondasi sosial yang membentuk identitas, kohesi, dan daya lenting masyarakat. Karena itu, ketika Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) disusun, semestinya ia tidak berhenti sebagai dokumen administratif, melainkan menjadi basis utama dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

PPKD, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, merupakan peta jalan kebudayaan daerah. Dokumen ini memuat gambaran objektif tentang kondisi kebudayaan: apa yang masih hidup, apa yang rapuh, apa yang terancam punah, dan apa yang berpotensi dikembangkan. Dengan kata lain, PPKD adalah cermin tentang siapa kita sebagai komunitas kultural dan ke mana arah kita melangkah.



Sayangnya, dalam praktik pemerintahan daerah, PPKD sering berdiri sendiri. Ia disusun dan disahkan, tetapi tidak terintegrasi secara nyata dengan RPJMD dan APBD. Akibatnya, program kebudayaan berjalan tanpa dukungan anggaran yang memadai, bergantung pada sisa alokasi atau bantuan dari pemerintah pusat. Ketika prioritas politik berubah, kebudayaan menjadi sektor pertama yang terpinggirkan.

Menjadikan PPKD sebagai basis RPJMD dan APBD bukan sekadar soal “membagi anggaran”, melainkan soal arah pembangunan. RPJMD yang memuat visi dan misi kepala daerah seharusnya berpijak pada realitas sosial-budaya setempat, bukan sekadar jargon pembangunan. Tanpa landasan kebudayaan, visi hanya menjadi slogan, dan misi berubah menjadi daftar proyek jangka pendek.

Integrasi PPKD ke dalam RPJMD berarti menempatkan kebudayaan sebagai kerangka berpikir pembangunan. Ketika daerah mengembangkan pariwisata, misalnya, yang dihitung bukan hanya jumlah wisatawan, tetapi juga daya dukung budaya lokal. Ketika membangun kota, yang dirancang bukan hanya gedung dan jalan, tetapi juga ruang hidup bagi ekspresi seni, tradisi, dan interaksi sosial. Dalam konteks ini, PPKD menyediakan konteks, RPJMD memberi arah, dan APBD menjadi daya dorong.

Tujuan utama penyusunan PPKD adalah memastikan pemajuan kebudayaan memperoleh dukungan anggaran yang layak. Tanpa dukungan fiskal yang memadai, kebudayaan mudah tereduksi menjadi kegiatan seremonial: festival tahunan yang tergesa-gesa, pelestarian bahasa daerah yang bergantung pada komunitas sukarela, serta arsip budaya yang rapuh dimakan waktu. Anggaran yang kuat memungkinkan program kebudayaan berjalan berkelanjutan, terencana, dan berdampak.

Lebih jauh, anggaran kebudayaan yang bersumber dari APBD juga mengurangi ketergantungan daerah pada bantuan pendanaan pemerintah pusat. Ketergantungan tersebut kerap menyisakan jarak, karena program pusat sering bersifat seragam, sementara kebudayaan daerah sangat kontekstual. Dengan PPKD sebagai dasar APBD, daerah memiliki legitimasi untuk merancang program sesuai kebutuhan dan karakter lokalnya.

PPKD juga memiliki fungsi penting sebagai instrumen akuntabilitas. Ketika dijadikan rujukan resmi RPJMD dan APBD, publik dapat menilai sejauh mana komitmen pemerintah daerah terhadap kebudayaan benar-benar diwujudkan dalam kebijakan anggaran. Dalam konteks ini, peran Kementerian Dalam Negeri strategis untuk memastikan konsistensi antara dokumen perencanaan dan alokasi anggaran, tanpa mengintervensi kreativitas daerah.

Namun, integrasi PPKD ke dalam RPJMD dan APBD menuntut perubahan cara pandang. Kepala daerah dan penyusun kebijakan perlu melihat kebudayaan bukan sebagai beban biaya, melainkan investasi jangka panjang. Hasilnya mungkin tidak langsung terlihat dalam grafik pertumbuhan ekonomi, tetapi terasa dalam kualitas hidup masyarakat: rasa memiliki, kebanggaan, dan ketahanan sosial.

Tentu, semua itu mensyaratkan kualitas PPKD yang baik. Dokumen ini harus disusun secara partisipatif, jujur, dan analitis, melibatkan pelaku budaya dan masyarakat. PPKD tidak boleh sekadar mencatat potensi, tetapi juga kerentanan dan konflik yang nyata di lapangan.

Pembangunan tanpa kebudayaan pada akhirnya hanyalah pekerjaan teknik, bukan peradaban. Menjadikan PPKD sebagai basis RPJMD dan APBD berarti mengakui bahwa manusia—dengan ingatan, nilai, dan identitasnya—adalah tujuan utama pembangunan. Daerah yang melupakan kebudayaannya akan kehilangan arah, dan kesulitan mengenali dirinya sendiri di tengah perubahan zaman.

(Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *