Mohammad Agung Ridlo.(Foto Ist)
Mohammad Agung Ridlo.(Foto Ist)
|

Pendekatan Kontekstual Jadi Kunci Atasi Permukiman Kumuh di Indonesia

Oleh: Mohammad Agung Ridlo

Permasalahan permukiman kumuh masih menjadi pekerjaan rumah besar di berbagai kota di Indonesia. Fenomena ini muncul sebagai dampak dari laju urbanisasi yang tinggi namun tidak diimbangi dengan pengelolaan wilayah dan penyediaan infrastruktur yang memadai.

Akibatnya, banyak warga miskin kota terpaksa tinggal di kawasan yang minim fasilitas dasar, seperti sanitasi, air bersih, dan sistem drainase.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, negara bertanggung jawab menjamin hak setiap warga negara untuk menempati hunian yang layak.

Namun, dalam praktiknya, kebijakan yang diambil pemerintah sering kali bersifat seragam dan tidak mempertimbangkan konteks lokal. Padahal, karakteristik permukiman kumuh di setiap daerah berbeda-beda, bahkan di dalam satu kota pun kondisi antar wilayah bisa sangat beragam.

Program-program seperti Kawasan Siap Bangun (KASIBA) dan Lingkungan Siap Bangun (LISIBA) telah dirancang untuk mempercepat penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Sayangnya, implementasi program tersebut belum sepenuhnya mampu mengatasi persoalan kumuh yang terus berkembang. Salah satu penyebabnya adalah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada aspek fisik tanpa menyentuh akar masalah sosial dan ekonomi masyarakat setempat.

Situasi urbanisasi di Indonesia juga berbeda dari negara-negara maju di Barat. Di negara-negara maju, urbanisasi biasanya diikuti dengan pertumbuhan sektor industri yang mampu menyerap tenaga kerja dan mempercepat pembangunan infrastruktur kota.

Di Indonesia, urbanisasi cenderung berlangsung tanpa industrialisasi, sebuah kondisi yang oleh para pakar disebut sebagai “urbanisasi tanpa industrialisasi.”

Setidaknya ada empat faktor yang memicu kondisi ini. Pertama, posisi Indonesia sebagai negara berkembang dalam struktur ekonomi global menyebabkan ketergantungan terhadap investasi asing dan ekspor komoditas.

Kedua, laju pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia sangat tinggi, melebihi kapasitas penyediaan hunian dan layanan dasar kota.

Ketiga, terbatasnya lapangan kerja formal membuat banyak warga miskin kota menggantungkan hidup pada sektor informal.

Keempat, rendahnya penguasaan teknologi turut memperlambat pembangunan sektor-sektor strategis.

Permukiman kumuh bukan semata-mata persoalan teknis tata ruang atau pelanggaran hukum atas penggunaan lahan. Banyak kawasan kumuh justru berada di lokasi strategis karena dekat dengan pusat ekonomi, transportasi, dan fasilitas publik.

Dalam kondisi seperti ini, penggusuran paksa justru menimbulkan persoalan baru, seperti kehilangan mata pencaharian, meningkatnya biaya hidup, hingga timbulnya kawasan kumuh baru di lokasi lain.

Pendekatan penanganan permukiman kumuh tidak boleh bersifat mekanistik. Solusi fisik seperti membangun rumah susun (rusun) atau menggusur warga ke lokasi terpencil tanpa menyediakan akses yang memadai ke tempat kerja justru memperparah ketimpangan.

Kebijakan seperti ini harus diganti dengan pendekatan kontekstual yang mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan legalitas lahan.

Jika suatu kawasan kumuh memiliki status legal dan sesuai tata ruang, maka langkah perbaikan dapat dilakukan melalui program perbaikan kampung, bedah rumah, peremajaan lingkungan, dan penyediaan infrastruktur dasar.

Sementara itu, jika kawasan tersebut tergolong ilegal (squatter), maka pendekatan relokasi tetap diperlukan, namun dengan perencanaan yang matang dan partisipatif. Warga perlu dilibatkan sejak awal agar proses relokasi tidak mencabut mereka dari jejaring sosial dan ekonomi yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.

Pandangan humanistik juga perlu dimasukkan dalam kebijakan perumahan. Pemikiran J.F.C. Turner misalnya, menekankan bahwa perumahan bukan sekadar benda mati atau “noun”, melainkan proses hidup atau “verb” yang memiliki nilai sosial dan ekonomi bagi penghuninya.

Rumah sederhana namun dekat dengan tempat kerja, sekolah, dan fasilitas umum bisa jadi lebih bermakna dibandingkan rumah permanen yang terisolasi.

Pemerintah perlu mengubah perannya dari penyedia tunggal menjadi fasilitator dan regulator. Artinya, negara harus mendorong kolaborasi multipihak, termasuk swasta, lembaga swadaya masyarakat, koperasi, akademisi, dan tentu saja masyarakat itu sendiri.

Partisipasi aktif dari warga dalam merancang masa depan permukiman mereka akan membuat kebijakan menjadi lebih adaptif dan berkelanjutan.

Ke depan, pembangunan kawasan permukiman harus mengintegrasikan aspek fisik, sosial, dan ekonomi dalam satu kerangka kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Bukan hanya membangun rumah, tetapi membangun harapan, komunitas, dan kehidupan yang lebih baik.

Dengan sinergi dan pemahaman lokal yang mendalam, Indonesia bisa keluar dari jeratan masalah permukiman kumuh dan mewujudkan kota-kota yang inklusif, layak huni, dan berkeadilan sosial.

(Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T., adalah Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) Fakultas Teknik Unissula Semarang. Sekretaris I Bidang Penataan Kota, Pemberdayaan Masyarakat Urban, Pengembangan Potensi Daerah, dan Pemanfaatan SDA, ICMI Orwil Jawa Tengah, dan Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *